Masyarakat terguncang dengan pembunuhan sadis di Kota Bekasi yang menyebabkan empat nyawa melayang termasuk dua nyawa bocah tak berdosa. Belum tuntas kasus itu ditangani polisi, masyarakat dikejutkan temuan mayat pria dalam tong sampah di Klapanunggal, Kabupaten Bogor dan mayat wanita di kamar indekos di Mampang, Jakarta Selatan.
Saat pengusutan kasus ini, mayat pemandu lagu berinisial CIP (22) ditemukan tewas di Jakarta Selatan. Banyaknya kasus di wilayah Jabodetabek belakangan ini, meresahkan sebagian warga. Sebagian bertanya, mengapa begitu mudah seorang menghabisi nyawa orang lain.
Data United Nations Office on Drugs and Crimes (UNODC) atau kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan narkotika dan kriminal, homicide rate (angka pembunuhan) di Indonesia tahun 2016 mencapai 0,5 per 100.000 penduduk. Homicide rate di Filipina jauh lebih tinggi, yaitu 11,02 per 100.000 penduduk yang merupakan angka tertinggi di Asia Tenggara.
Jangan resah
Data UNODC tahun 2012, homicide rate di Asia adalah yang terendah di seluruh dunia yakni 2,9 per 100.000 penduduk. Angka itu di bawah angka homicide rate global yaitu 6,2. Angka tertinggi adalah Amerika (16,3 per 100.000 penduduk), Afrika (12,5), Eropa serta Oceania memiliki angka yang sama (3,0).
Psikolog forensik Reza Indragiri, Rabu (21/11/2018) berpendapat, dalam 10 bulan terakhir ada 70 kasus pembunuhan di wilayah Polda Metro Jaya. Artinya setiap empat hari, terjadi pembunuhan dengan berbagai motif. Meskipun angkanya tinggi, masyarakat tidak perlu merasa resah.
“Dengan 70 kasus itu, kasus-kasus (pembunuhan) ini tidak luar biasa. Pembunuhan memang meresahkan. Tetapi kalau performa polisi bagus, bisa mengobati keresahan,” kata Reza.
Secara terpisah, kriminolog Adrianus Meliala mengatakan, sejak April 2018 pengamanan sangat ketat untuk kesuksesan Asian Games dan Asian Para Games. Maka terjadilah analogi balon yang dipencet, saat dipencet di satu titik akan muncul gelembung di titik lain. “Gelembung” itu sekarang muncul dalam bentuk kasus-kasus pembunuhan.
Merasa aman
Adrianus mengutarakan, orang yang membunuh dengan aneka modus itu mungkin merasa sekarang relatif aman daripada beberapa saat lalu. “Kalau pelaku dendam, dia tidak membalas dendamnya saat sedang banyak polisi, tetapi sekarang. Jadi, ada teori bahwa pelaku yang dendam, marah, emosi itu bukannya tidak punya nalar,” ujarnya.
Sementara itu, pengajar Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi Hamluddin mengatakan, dalam peta kriminalitas, beberapa wilayah di Kota Bekasi memang masuk pada status bahaya. Terutama yang terletak di perbatasan dengan Jakarta, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bekasi. "Secara geografis, penjahat kerap beraksi di wilayah-wilayah itu karena akses untuk melarikan diri ke wilayah lain mudah," kata dia.
Catatan pembunuhan pun mengemuka sejak lama. Salah satu yang paling menonjol adalah kasus mutilasi di Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur pada 2007. Setelah itu, pembunuhan kerap terjadi dengan berbagai modus dan motif. Salah satunya perampokan.
"Kejahatan juga bisa dipengaruhi kesenjangan sosial dan ekonomi yang tinggi," kata Hamluddin. Berbagai permukiman mewah berdiri di berbagai tempat, namun permukiman kumuh pun masih banyak.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), rasio gini di Kota Bekasi pada 2017 adalah 0,351. Jumlah pengangguran pada usia 15-55 tahun pun mencapai 25.020 orang dari total 2,7 juta penduduk.
Hamluddin menambahkan, secara kultur, warga Kota Bekasi merupakan masyarakat heterogen. Penjahat dan korban tidak pernah merujuk pada salah satu suku melainkan bisa menimpa siapa pun. Masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan di lingkup terkecil, yaitu RT dan RW.
Asal-usul setiap penduduk harus diketahui. Kecenderungan perilaku mencurigakan pun semestinya cepat dilaporkan pada petugas perlindungan masyarakat.
Pendapat lain disampaikan Kriminolog Universitas Indonesia M Mustofa. Menurut Mustofa banyaknya pembunuhan akhir-akhir ini bisa dilihat dari banyaknya nilai kekerasan yang diterima masyarakat. Nilai kekerasan itu bisa muncul melalui tayangan televisi, film, berita.