Pencegahan Korupsi Kian Mendesak
KPK meluncurkan hasil Survei Penilaian Integritas 2017. Keseriusan pimpinan lembaga pemerintahan pusat dan daerah memberantas korupsi sangat penting.
JAKARTA, KOMPAS - Suap, gratifikasi, dan nepotisme masih terjadi di sejumlah kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah yang berpengaruh terhadap berbagai pengambilan kebijakan. Praksis korupsi ini masih terjadi karena siapa pun yang berupaya melaporkannya kepada penegak hukum justru dikucilkan dari lingkungan kerja dan kariernya dihambat.
Pimpinan lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus berkomitmen penuh memperbaiki upaya-upaya pencegahan korupsi. Tanpa keseriusan membenahi upaya pencegahan, kualitas pelayanan publik sulit ditingkatkan dan reformasi birokrasi pun bakal stagnan.
Fenomena ini muncul dari hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2017 yang dirilis di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (21/11/2018). Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan, fenomena yang terekam dalam hasil SPI 2017 perlu dijadikan bahan renungan bahwa upaya memperbaiki bangsa agar bebas dari korupsi masih panjang.
”Kita masih perlu kerja keras. Hasil survei ini perlu ditindaklanjuti oleh setiap lembaga untuk perbaikan dan memetakan solusi yang tepat. Ada peningkatan upaya pemberantasan korupsi, tetapi (berjalan) lambat. Kenaikan skor IPK dari 17 menjadi 37 perlu waktu 19 tahun. Ini perlu dikejar,” ujar Agus.
SPI 2017 terhadap 36 kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dilakukan KPK bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Sebelumnya, pada 2016 KPK dan BPS juga melakukan hal serupa.
Ada empat dimensi penilaian yang disoroti dalam survei, yakni budaya antikorupsi, pengelolaan sumber daya manusia, pengelolaan anggaran, dan sistem antikorupsi. Responden survei berasal dari internal lembaga terkait, masyarakat pengguna layanan, dan ahli. Dari survei yang dilakukan, diperoleh indeks penilaian integritas setiap institusi dengan skala 0-100, dengan semakin mendekati 100 menunjukkan integritas yang baik dan rendah risiko korupsi begitu pula sebaliknya.
Rata-rata penilaian integritas berada pada skor 66. Pemerintah Kota Banda Aceh memegang skor tertinggi, yakni 77,39, diikuti Pemerintah Kabupaten Badung (Bali) 77,15, Kementerian Keuangan 76,54, Kementerian Kesehatan 74,93, dan Pemerintah Kota Madiun (Jawa Timur) 74,15. Skor terendah ditempati Pemerintah Provinsi Papua 52,91, Kepolisian Negara RI 54,01, Pemerintah Provinsi Maluku Utara 55,29, Pemerintah Provinsi Banten 57,64, dan Pemerintah Kota Bengkulu 58,58.
”Namun, bukan berarti nilai tinggi lalu korupsi tidak akan terjadi karena korupsi dapat terjadi meski dalam sistem yang sudah mapan. Ini potret lembaga kita semua. Artinya, perbaikan harus dilakukan bagi semuanya karena meski memiliki indeks di atas rata-rata, potensi korupsi ada di setiap lembaga,” kata Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Wawan Wardiana.
Untuk Polri, skor SPI 2017 rendah karena tak satu pun pihak internal bersedia disurvei. Terkait dengan hal ini, Polri berkomitmen secara berkala memperbaiki kinerja pelayanan publik.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan KPK mengenai hasil survei itu. Polri, tambahnya, perlu mengetahui dengan jelas poin-poin dan metodologi penilaian.
”Polri tetap tenang menghadapi (penilaian) itu. Kami akan lakukan perbaikan, tetapi kami meminta momentumnya yang tepat, jangan jelang tahun politik,” ujar Dedi.
Dimintai uang
Apabila dipilah dari setiap dimensi, 30 persen responden internal percaya suap/gratifikasi memengaruhi kebijakan karier di lembaganya. Kemudian 20,11 persen responden internal pernah mendengar atau melihat praksis nepotisme dalam penerimaan pegawai.
Adapun di Pemkot Bengkulu, Pemprov Aceh, dan Pemprov Banten, responden eksternal menyatakan pernah dimintai uang oleh pegawai saat mengakses pelayanan publik. Menariknya, kejadian yang diketahui pegawai internal ini tak terbendung karena sistem whistleblowing dan perlindungan terhadap pelapor belum terjamin.
Sebanyak 22 persen pegawai percaya pelapor praktik korupsi akan terhambat kariernya dan dikucilkan. Adapun para pelaku, menurut responden, justru tidak ditindak sesuai hukum yang berlaku. Persoalan ini terjadi hampir di setiap lembaga dan menunjukkan sulitnya lembaga negara berkembang ke arah yang lebih baik karena upaya transparansi dan akuntabilitas justru mengalami kendala dari internalnya.
Direktur Statistik Ketahanan Sosial BPS Harmawanti Marhaeni mengungkapkan, survei semacam ini akan dilakukan setiap tahun dan mendorong agar setiap lembaga pemerintah melakukannya secara mandiri.
Analis Senior Group Penanganan Anti-fraud Otoritas Jasa Keuangan Nuning Isnainijati dan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Sumiyati mengatakan, instansinya telah menjalankan SPI secara mandiri pada 2017. Menurut keduanya, SPI memudahkan lembaganya memetakan persoalan dan mencari solusi pencegahan korupsi dengan menguatkan sistem whistleblowing.
Inspektur I Kementerian Dalam Negeri Dadang Sumantri Mohtar mengatakan, Kemendagri akan segera mengeluarkan surat edaran kepada seluruh kepala daerah untuk tindak lanjut SPI 2019.