JAKARTA, KOMPAS -- Ada tiga teori umum yang kerap dijadikan acuan perihal masuknya Islam ke nusantara. Tetapi, para peneliti Universitas Indonesia menyodorkan perspektif yang berbeda mengenai asal mula masuknya Islam ke nusantara.
Teori umum yang kerap dijadikan acuan perihal masuknya Islam ke nusantara, pertama, Islam diperkenalkan oleh pedagang asal Gujarat, India Selatan. Kedua, Islam dibawa oleh orang Arab. Ketiga, Islam disebarkan oleh orang-orang Persia.
Ketiga teori tersebut punya satu benang merah yakni Islam disebarkan melalui perantara perdagangan. Dengan kata lain, pedagang sekaligus berperan sebagai penyebar agama.
Namun, dalam diskusi yang diadakan oleh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya (PPKB) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (UI), para pakar yang hadir sepakat bahwa pedagang bukanlah faktor utama berkembangnya Islam di Indonesia.
Pasalnya, pergantian sistem kepercayaan atau agama dari yang satu ke yang lain bukan perkara sederhana. Perlu ada alasan kuat bagi masyarakat di nusantara kala itu untuk meninggalkan Hinduisme atau animisme yang sudah mengakar begitu dalam.
"Apakah para pedagang memiliki kompetensi intelektual untuk mempengaruhi dan mengubah sistem kepercayaan masyarakat? Pandangan bahwa Islam di nusantara disebarluaskan oleh pedagang dari Gujarat mengesankan bahwa Islam diterima semata-mata lantaran motif ekonomi," kata salah satu peneliti PPKB UI, Bastian Zulyeno, Rqbu (21/11/2018).
Pertanyaan tersebut memunculkan dugaan bahwa di Islam di nusantara bukan dibawa oleh kelompok masyarakat biasa, melainkan kaum intelektual. Apalagi jika mengingat masyarakat di wilayah nusantara saat itu sudah mengenal bahasa Melayu sebagai lingu franca, artinya para penyebar agama Islam harus menguasai terlebih dahulu bahasa tersebut agar dapat berkomunikasi.
Contoh lain adalah ditemukannya nisan-nisan di komplek pemakaman kuno di daerah Sundu, Maraza, dan Lahic di Azerbaijan yang memiliki kesamaan dengan nisan di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara dan Lhoksemawe, Aceh. Ini membuka perspektif baru tentang masuknya Islam di nusantara.
"Mengapa nisan di dua daerah yang berjauhan menunjukkan adanya banyak persamaan? Boleh jadi Islam masuk melalui daerah Asia Tengah dan Pegunungan Kaukasus," imbuhnya.
Selain itu, pada nisan di Barus, Minye Tujuh dan Lhoksemawe terdapat syair, suatu tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Persia dan Arab kuno. Bukti-bukti ini mengindikasikan bahwa pembawa agama Islam ke nusantara adalah golongan literat alias kaum intelektual.
Bastian menerangkan, hal tersebut dapat dikatakan sebagai hipotesis awal untuk menelusuri kembali jejak masuknya Islam di nusantara. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian kembali yang lebih komprehensif dengan pendekatan multidisiplin.
Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan Husnan Bey Fananie yang ikut dalam diskusi melalui telekonferensi berharap peneliti Indonesia dapat mengkaji sejarah Islam yang ada di Azerbaijan.
"Hasil penelitian ini bisa memunculkan jati diri baru bagi masyarakat muslim Indonesia, bahwa hubungan Islam Indonesia dan Azerbaijan sangatlah erat sekali. Mengingat selama ini pandangan tentang masuknya Islam di Nusantara masih terpaku pada peneliti asing," ujarnya.
Sementara itu, ahli Arkeologi Islam Ghilman Assilmi mengatakan bahwa kajian arkeologis yang dilakukan untuk mengungkapkan masuknya Islam di nusantara masih sebatas kajian perbandingan. Menurutnya, dari hasil awal penelitian multidisiplin menegaskan bahwa Islam masuk di nusantara tidak semata dibawa oleh pedagang dari Gujarat.
"Hasil penelitian akan memberikan berbagai kemungkinan baru tentang masuknya Islam di nusantara," kata Ghilman. (SITA NURAZMI MAKHRUFAH)