Agar Tanggulangin Bisa Bersaing di Industri Mode Global
Puluhan perajin di sentra industri kecil tas dan koper Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, mengikuti bimbingan teknis di Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia, Selasa (6/11/2018). Di bawah bimbingan sejumlah instruktur andal, para perajin ini belajar menghadapi tantangan bisnis di era revolusi industri 4.0. Dari pakar pemasaran, pencitraan, hingga praktisi bisnis muda yang sukses mengembangkan usahanya.
Empat hari sebelum itu, puluhan perajin menggelar pasar kreatif di Lapangan Desa Kendensari. Layaknya pasar, ada banyak lapak sebagai tempat memamerkan aneka produk perajin, seperti tas wanita, tas pria, tas anak-anak, tas koper, ikat pinggang, dompet, jaket, topi, dan sepatu. Produk yang dipamerkan itu hasil inovasi perajin menjawab tantangan dinamika pasar.
Masih pada hari yang sama, kira-kira 50 meter dari Lapangan Desa Kendensari terdapat gerai atau ruang pamer Koperasi Industri Tas dan Koper Tanggulangin (Intako). Bagian depan gerai tampak berhias mural single line. Mural sepanjang 2,5 kilometer itu hasil sinergi para perajin dan mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, dengan pengerjaan melibatkan 700 orang.
Mural ini mampu mengubah wajah gerai Koperasi Intako yang sebelumnya kusam dan tak terawat menjadi bersih dan segar. Warna dasar kuning dengan garis hitam menampilkan kesan cerah dan bersemangat. Harapannya, selain mampu menarik pengunjung, tentu memberikan spirit baru bagi perajin.
Beragam kegiatan yang diselenggarakan di sentra industri kecil dan menengah (IKM) Tanggulangin itu sejatinya hanya bagian kecil dari upaya besar membangkitkan kembali kekuatan ekonomi rakyat yang pernah menjadi tulang punggung industri kreatif di Jatim, bahkan nasional. Kegiatan ini sekaligus menjadi titian menggaungkan sentra IKM Tanggulangin di era milenial.
Terpuruk
Berdiri di era tahun 1960-an, industri kulit Tanggulangin dimotori oleh mantan karyawan industri kulit di Kota Surabaya yang memilih berwirausaha. Meski bermodal pas-pasan serta berbekal pengetahuan dan keterampilan otodidak, para mantan pekerja ini berhasil mengembangkan Tanggulangin menjadi sebuah sentra industri kulit terbesar di Jatim.
Jalan terjal dan berliku telah dilalui perajin. Bahkan mereka gagal saat awal berorganisasi. Namun, sebagian perajin memetik pelajaran dari kegagalan itu sebagai bekal mendirikan Koperasi Intako. Mereka sadar, dengan berorganisasi, perajin menjadi kuat menghadapi persaingan bisnis yang ketat.
Ketua Koperasi Intako Ainurrofik mengatakan, sentra industri Tanggulangin merupakan poros industri kreatif yang memiliki ribuan perajin. Mereka tersebar di Desa Kendensari, Kludan, Nggodok, Wates, Kalisampurno, dan Randegan. Pada masa jayanya, yakni 1980-2000, perputaran uang di sentra industri ini mencapai Rp 10 miliar per hari.
Ainur yang juga perajin kulit mengatakan, dulu transaksi ritel (pembelian langsung eceran di gerai) rerata per bulan tembus Rp 20 miliar atau sekitar Rp 240 miliar per tahun. Nilai itu tidak termasuk pesanan yang dikerjakan oleh setiap perajin yang nilainya bisa tiga kali lipatnya.
”Namun, masa kejayaan itu runtuh karena terdampak semburan lumpur Lapindo 2006 silam. Dua tahun setelah itu menjadi masa-masa tersulit karena pengunjung benar-benar sepi. Alih-alih produksi baru, untuk menghabiskan stok barang jadi saja susah meski sudah banting harga,” ujar Ainur.
Pasar wisata yang baru dibangun setahun dengan biaya miliaran rupiah menjadi mangkrak. Sebelumnya pasar itu dipenuhi oleh ratusan bahkan ribuan pengunjung pada akhir pekan. Wisatawan lokal ataupun asing berdatangan menyerbu ribuan gerai yang mayoritas menyatu dengan bengkel kerja dan rumah tinggal perajin.
Masa kejayaan itu runtuh karena terdampak semburan lumpur Lapindo 2006 silam. Dua tahun setelah itu menjadi masa-masa tersulit karena pengunjung benar-benar sepi.
Industri kulit Tanggulangin tak hanya kumpulan perajin, tetapi juga sebuah kawasan terpadu dengan infrastruktur yang relatif lengkap. Selain gerai pribadi milik perajin, ada gedung koperasi yang berfungsi sebagai ruang pamer produk, pasar wisata dengan area parkir luas, serta Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia Kementerian Perindustrian.
Ainur menyebutkan, meski produk Tanggulangin dihasilkan oleh industri rumahan, daya saingnya tinggi. Sebagai gambaran, Koperasi Intako yang berdiri pada 1976 berhasil mendapat kontrak kerja membuat tas dan koper jemaah haji seluruh Indonesia dari PT Garuda Indonesia selama 1986-1990.
Sejak 1997 hingga sekarang, Koperasi Intako dipercaya memproduksi koper (case) untuk alat musik saksofon dan trompet produksi Yamaha, Jepang. Koper itu untuk diekspor ke Amerika Serikat.
”Tidak hanya itu, koperasi yang saat ini beranggotakan 289 perajin juga mengerjakan pesanan produk dari Timor Leste, Australia, Italia, dan tengah menjajaki pasar Afrika. Ada dua jenis bahan yang digunakan, yakni kulit hewan dan sintetis, masing-masing memiliki pasar sendiri,” tutur Ainur.
Perajin piawai mengolah dan mengombinasikan bahan kulit, baik hewan maupun sintetis. Mereka terus melakukan diversifikasi sehingga tidak hanya mengolah kulit sapi dan domba yang sudah lazim digunakan oleh perajin di sentra industri lain. Ada kulit ikan, kulit ular, serta kulit buaya. Kombinasi lain adalah batik tulis dan kain tenun untuk memperkaya varian bahan.
Setelah terpuruk akibat dampak semburan lumpur Lapindo, sebagian kecil perajin berupaya keras mencari terobosan untuk memulihkan kembali usaha mereka. Perajin yang juga penasihat Koperasi Intako, Mahbub Junaedi, bercerita, salah satu terobosannya adalah mengubah strategi pemasaran.
Jika sebelumnya perajin pasif menunggu pembeli datang, kini mereka aktif menjemput bola. Caranya, dengan memboyong barang dagangan mereka ke pusat perbelanjaan di kota-kota besar, seperti Malang, Banjarmasin, dan Samarinda. Hasilnya tidak mengecewakan, tetapi biaya produksi yang diperlukan tinggi dan fokus perajin menjadi terpecah karena harus mengurus dapur produksi, promosi, dan pemasaran dalam waktu bersamaan.
Jika sebelumnya perajin pasif menunggu pembeli datang, kini mereka aktif menjemput bola. Caranya, dengan memboyong barang dagangan mereka ke pusat perbelanjaan di kota-kota besar.
Apalagi saat itu kondisi keuangan perajin menipis sehingga mereka harus berhemat dan berhitung cermat dalam mempekerjakan karyawan. Namun, berkat usaha yang pantang menyerah, masyarakat pun akhirnya tersosialisasi bahwa Tanggulangin masih eksis.
Jika dulu transaksi ritel harian nyaris tidak ada, kini perlahan mulai merangkak meski angkanya masih rendah, di kisaran Rp 600 juta per bulan. Untuk transaksi pemesanan jauh lebih besar karena beberapa perajin Tanggulangin sudah mengenal pemasaran daring sejak 2005. Bahkan ada perajin yang mampu bertransaksi Rp 15 juta per hari.
Tantangan lebih kompleks
Rektor ITS Joni Hermana mengatakan, tantangan yang dihadapi perajin Tanggulangin saat ini tidak hanya masalah lumpur Lapindo, tetapi lebih kompleks. Dalam skala global, perajin dihadapkan pada sistem otomasi, robotika, dan ilmu teknologi yang berkembang pesat di era revolusi industri 4.0.
Tantangan ini memang dihadapi semua industri konvensional. Mayoritas perajin di Tanggulangin melakukan proses produksi secara tradisional. Sentuhan peralatan modern minim sehingga kurang berdaya saing dalam desain.
Tantangan lain, banyak perajin tak memiliki merek sendiri dan memilih menjual produk polosan. Baru sebagian kecil yang punya merek sendiri, tetapi merek-merek itu belum mampu menjadi ikon.
”ITS akan membantu di bidang desain produk, pemilihan merek, hingga pengembangan sistem bisnis yang sesuai dengan zaman kekinian. Hal itu untuk memperluas target pasar, termasuk menyentuh generasi milenial serta mendorong produk Tanggulangin menembus pasar ekspor lebih luas lagi,” papar Joni.
Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih mengatakan, pemerintah akan merevitalisasi sentra IKM Tanggulangin untuk memacu kinerja ekosistem bisnis yang menurun sejak terdampak semburan lumpur Lapindo.
Selain itu, dia juga akan mendorong pertumbuhan sektor industri kulit, alas kaki, dan barang jadi kulit sebagai salah satu sektor industri prioritas yang berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
Tanggulangin merupakan industri kulit terbesar di Jatim dan salah satu sentra industri kulit terbesar nasional. Selain Kabupaten Garut, sentra industri kulit nasional juga terdapat di Kota Padang.
Indonesia berpotensi besar mengembangkan industri kulit, alas kaki, dan barang jadi kulit. Indonesia berada di urutan keenam sebagai eksportir produk kulit, alas kaki, dan barang jadi kulit dengan penguasaan terhadap pangsa pasar sebesar 3 persen.
”Kekuatan Indonesia terdapat pada keberagaman dan kreativitas para pelaku usaha sehingga produk yang dihasilkan berdaya saing tinggi di pasar internasional,” ujar Gati di sela acara Rebranding Tanggulangin, Jumat (2/11/2018).
Gati mengatakan, ekspor produk kulit, alas kaki, dan barang jadi kulit berpotensi dikembangkan karena kinerjanya meningkat. Data kinerja ekspor periode Januari sampai dengan September 2018 tercatat mencapai 4,16 miliar dollar AS, meningkat 6,28 persen dari periode yang sama tahun 2017 sebesar 3,1 miliar dollar AS. Adapun negara tujuan ekspor utama antara lain Amerika Serikat, Belgia, Jepang, dan China.
Setelah direvitalisasi, Tanggulangin diharapkan mampu berkontribusi terhadap pertumbuhan kinerja ekspor nasional hingga 5 persen dalam setahun. Kementerian Perindustrian optimistis ekosistem bisnis perajin tas dan koper di Tanggulangin ini bisa bangkit karena adanya dukungan penuh dari Pemprov Jatim dan Pemkab Sidoarjo.
”Program sebagus apa pun dari pemerintah pusat apabila tidak didukung oleh pemprov dan pemda tingkat dua tidak akan berhasil,” ucap Gati.
Tiga isu utama
Kementerian Perindustrian berencana menjadikan program revitalisasi Tanggulangin ini sebagai proyek percontohan untuk mengembangkan industri kulit di daerah lain. Program revitalisasi Tanggulangin ini sebenarnya digagas Kementerian Perindustrian sejak 2017. Wujudnya antara lain dengan menyusun road map atau peta jalan sebagai panduan pelaksanaan program revitalisasi di lapangan.
Ada tiga isu utama yang menjadi fokus program revitalisasi Tanggulangin. Pertama, revitalisasi kelembagaan Koperasi Intako, revitalisasi fisik sentra Tanggulangin, dan membangun kawasan wisata terpadu, yakni three in one. Wisata terpadu ini menggabungkan wisata belanja, wisata budaya, dan wisata edukasi.
Pengunjung tidak hanya berbelanja produk, tetapi juga bisa melihat proses pembuatan mulai dari pemilihan bahan, desain, hingga tahap penyelesaian sehingga ada unsur pendidikan dan nilai filosofi.
Pada momen tertentu, akan digelar kegiatan yang menampilkan budaya lokal Sidoarjo sebagai sarana menambah hiburan, melestarikan warisan leluhur, sekaligus menyosialisasikannya kepada masyarakat.
Pembeli produk Tanggulangin umumnya terkesan sehingga banyak yang kemudian menjadi pelanggan. Karakter pembeli ini beragam, mulai dari masyarakat biasa, pejabat, hingga figur publik.
”Produk buatan luar negeri memang menang merek, tetapi secara kualitas produk Tanggulangin jauh lebih bagus,” ujar penyanyi dangdut Inul Daratista saat mengunjungi Koperasi Intako, beberapa waktu lalu.
Produk buatan luar negeri memang menang merek, tetapi secara kualitas produk Tanggulangin jauh lebih bagus.
Ucapan Inul bukan pujian. Sebagai konsumen, artis ini menyampaikan fakta empiris. Dia menyebutkan kerap belanja tas kulit wanita, koper, dan jaket kulit produksi perajin rumahan di sentra IKM Tanggulangin. Kebiasaan yang telah berlangsung sejak bertahun silam itu bahkan masih bertahan hingga sekarang. Menariknya, Inul kerap memakai produk dari Tanggulangin saat bepergian ke luar negeri.
Produk kulit dari Tanggulangin juga terkenal awet serta tak mudah rusak. ”Sampek bosen gawene (Sampai bosan pakainya),” kata Amelia, salah satu pembeli.
Meski secara kualitas diakui, tidak banyak pembeli yang mengenal merek asli Tanggulangin. Sebab, meski telah banyak perajin memiliki merek sendiri dan mematenkannya, belum ada satu merek pun yang berhasil menjadi ikon di dunia mode. Jangan bandingkan merek lokal Tanggulangin ini dengan brand ternama di dunia mode, seperti Louis Vuitton, Prada, Mango, Chanel, dan Etienne Aigner.
Namun, melalui program revitalisasi dan rebranding yang digarap secara terpadu ini, diharapkan tidak hanya mampu membangkitkan kembali kejayaan sentra industri Tanggulangin sebagai tulang punggung ekonomi nasional, tetapi juga menjadi kawah candradimuka lahirnya merek lokal yang mampu menjadi ikon Indonesia di kancah industri kreatif di dunia mode.