Asia Tenggara Andalkan Pendidikan Agama Redam Intoleransi
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Pelajaran agama dikontekstualkan dengan kehidupan sehari-hari, bukan sekadar ritual ibadah. Guru perlu memahami makna hidup beragama sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa.
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan agama berbasis konstitusi menjadi faktor kebutuhan penting di negara-negara Asia Tenggara guna mencegah dan meredam konflik sosial yang menggunakan isu keagamaan. Sekolah dinilai sebagai benteng terhadap masuknya nilai-nilai ekstremisme dan intoleransi dengan syarat memiliki segenap guru dan tenaga kependidikan yang menerapkan pendidikan berwawasan kebangsaan.
Hal tersebut menjadi pokok pembahasan dalam loka karya regional Asia Tenggara yang bertema “Pendidikan Keagamaan dan Pencegahan Ekstremisme Kekerasan di Masyarakat Asia Tenggara yang Majemuk” di Jakarta, Kamis (22/11/2018). Acara diadakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatulah.
Guru Besar Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatulah, Jamhari Makruf mengatakan, masyarakat Asia Tenggara menjadikan agama sebagai identitas yang kemudian mempengaruhi pengambilan kebijakan politik, sosial, dan ekonomi. “Apabila tidak dibuka ruang pertemuan atau setidaknya wawasan mengenai keragaman masyarakat, akan muncul sikap masa bodoh di masyarakat. Sikap ini yang memunculkan intoleransi dan beirisiko bermuara kepada kekerasan dan pembiaran diskriminasi terhadap kelompok yang dinilai berbeda,” tuturnya.
Jamhari menjelaskan, Indonesia sudah memiliki dasar hukum dan dasar negara yang menjunjung tinggi kesetaraan, kebebasan beragama, dan persatuan bangsa. Di dalam kurikulum pendidikan formal juga diwajibkan untuk menerapkan pembelajaran berbasis pengenalan kemajemukan budaya Nusantara beserta agama dan kepercayaannya. Akan tetapi, dalam segi praktik di sekolah masih ditemukan berbagai kendala.
Bulan Oktober 2018 PPIM UIN Syarif Hidayatulah meluncurkan hasil penelitian “Pelita yang Meredup”. Terungkap bahwa dari 2.237 guru yang disurvey, sebanyak 53,06 persen memiliki pemikiran cenderung intoleran seperti tidak mau bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Pada tahun 2017, PPIM menyurvei siswa-siswa SMA sederajat, hasilnya tidak lebih menggembirakan. (Kompas, 17 Oktober 2018).
Indonesia sudah memiliki dasar hukum dan dasar negara yang menjunjung tinggi kesetaraan, kebebasan beragama, dan persatuan bangsa
Keragaman di sekolah
Dalam seminar itu dijabarkan berbagai upaya yang dilakukan di Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Myanmar terkait peredaman konflik berbasis isu agama beserta strategi pendidikan agama di sekolah. Dosen Universiti Sains Malaysia Azmil Moh Tayeb menjelaskan, masyarakat di Malaysia tersegregasi berdasarkan kelompok etnis seperti Melayu, Tionghoa, dan Tamil. Kurikulum pendidikan juga tidak memerintahkan adanya pembelajaran mengenai berbagai agama yang ada di negara itu.
“Muncul inisiatif sekolah-sekolah untuk memperkenalkan keragaman yang ada di antara para siswa. Sekolah-sekolah mulai merayakan berbagai hari raya seperti Idul Fitri, Natal, Imlek, dan Deepavali,” ujarnya. Bahkan, sekolah di negara bagian yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Kelantan dan Terengganu juga mulai melakukannya meskipun di sekolah tersebut siswa non-muslim jumlahnya tidak sampai 5 persen.
Peneliti masyarakat muslim Singapura Rizwana Abdul Azeez menerangkan, selain mulai adanya pelajaran mengenai berbagai agama di sekolah, juga diberlakukan kuota bagi setiap kelompok etnis di sekolah. Hal ini juga berlaku di masyarakat. Misalnya, di satu gedung apartemen, ada kuota penghuni dari berbagai kelompok etnis. Tujuannya agar terbentuk ruang-ruang pertemuan di masyarakat.
Sementara itu, peneliti dari Institut Pengkajian Islam Universitas Filipina, Darwin Absari mengatakan, madrasah sejak tahun 2004 diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan nasional guna mendidik generasi mudah mengenai persatuan di dalam keragaman ekspresi keagamaan. Demikian pula di Thailand,Wilasini Sopapol dari Universitas Walailak mengungkapkan, masyarakat negara Gajah Putih yang mayoritas beragama Buddha kini mulai belajar mengenai keberadaan agama dan kepercayaan minoritas.
Moderasi agama
Dalam acara tersebut turut hadir para perwakilan Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) dari 12 provinsi. Ketua umumnya, Mahnan Marbawi menuturkan, AGPAII bekerja sama dengan Kementerian Agama tengah melakukan penguatan pemahaman Pancasila dan Undang-Undang Dasar dalam konteks kehidupan beragama yang sesuai dengan karakter Indonesia. Di dalamnya mencakup tata cara mengadaptasi ajaran agama lebih dari sekadar ritual ibadah, melainkan sebagai tinjauan yang kritis dan relevan dengan keadaan sekarang.
Menurut dia, guru-guru “dipaksa” untuk kembali membaca teks-teks agama, tafsir, dan berbagai penelitian terkait makna hidup beragama sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa. “Tidak hanya dalam toleransi dan harmoni antarumat beragama, tetapi juga antarmahzab berbeda dalam agama Islam,” ucapnya. (DNE)