Balada Arwana Ditangkap Tangan
Bagai memungut bulir padi di lumbung penuh, begitulah menangkap ikan di Danau Sembuluh di Kalimantan Tengah, 20 tahun lalu. Saat ini, Sembuluh berharap bisa sembuh.
Danau Sembuluh di Kabupaten Seruyan saat itu dikelilingi hutan lebat pemberi kehidupan warga. Seiring waktu, danau itu tercemar, mengikis keceriaan warganya.
Di Desa Sembuluh II, air danau terbesar di Kalteng itu menghitam. Eceng gondok terhampar luas membuat perahu sulit lewat. Hampir di seluruh bagian danau, tanah di bawahnya tak lagi tampak. Berbagai jenis ikan terkapar di pinggir danau.
Kesuraman itu membuat Nasrun (66) dan istrinya, Mulia (50), nelayan Desa Sembuluh II, enggan pergi ke danau. ”Dulu kami menebar pukat atau rengge di pinggir danau hampir setiap pagi. Sore hari, rengge penuh ikan, minimal 3 kilogram. Sekarang harus ke tengah, dapat 1 kilogram sudah bagus,” kata Mulia.
Sejak kebun sawit masuk sekitar tahun 1995 di sekitar kampung, rengge atau pukat ia simpan. Empat keramba yang mampu menampung 60 kg hingga 80 kg ikan terus kosong. Jongkong atau perahu kayu mereka tertambat di pinggir danau. Tak terpakai.
Mulia, Nasrun, dan Jurianor (31), anak sulung Mulia, meninggalkan pekerjaan nelayan dan menjadi buruh perkebunan sawit. Mulia merawat pohon sawit, Jurianor menjadi sopir, dan Nasrun berhenti menjadi buruh karena stroke tahun 2010.
Upah Mulia sebagai buruh sawit di bawah Rp 1 juta per bulan. Ia putuskan berhenti bekerja sejak 2012 karena mengurus suami. Jurianor-lah yang menjadi tulang punggung.
Jurianor masih ingat bagaimana ia berenang di danau sepulang sekolah atau menggunakan tudung saji berburu ikan arwana, ikan hias mahal di perkotaan.
”Dulu, berenang sambil minum airnya pun tak masalah. Ikan tangkalasa (arwana) bisa kami tangkap pakai tangan. Sekarang, mau makan ikan, beli di pasar,” katanya.
Tanpa pilihan
Warga tak punya pilihan selain bekerja di kebun sawit. Bukan hanya tuntutan kehidupan, melainkan itulah satu-satunya pekerjaan di kampungnya. Sedikitnya ada 11 perusahaan perkebunan dan dua pabrik minyak sawit mentah (CPO) di sekitar danau.
”Rumah bapak dibangun dari menjual arwana sejak tahun 1985. Dulu harganya Rp 5.000 per arwana, tetapi zaman itu, uang itu besar sekali nilainya,” ungkap Jurianor.
Kini, mencelupkan kaki di danau, bercak hitam atau lumut menempel. Danau terbesar di Kalteng itu luasnya 7.832,5 hektar dengan panjang 35,68 km. Danau itu pernah perkasa, seperkasa hutan dan keanekaragaman hayatinya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Save Our Borneo (SOB) mencatat, sedikitnya ada 63 jenis ikan lokal di danau itu, 29 ikan di antaranya jarang ditemui.
Bahkan, ada enam jenis ikan lokal tak pernah dilihat lagi, seperti arwana (Scleropages formosus), ikan peyang (Maruliodes), ikan susur batu, ikan junju, ikan botia, dan belut.
Selain danau tercemar, hutan di sekitar danau menghilang dimanfaatkan masyarakat membuka ladang berpindah. Namun, semua berubah menjadi kebun sawit yang memicu konflik baru.
Wardian (63), petani yang juga pembuat kapal di sekitar Danau Sembuluh, kehilangan 5 hektar lahannya. Ia merasa tak pernah menjual tanah, tetapi tiba-tiba saja pohon karet, ulin, dan beberapa jenis pohon lain hilang. Berganti sawit.
”Saya tanya kepada perusahaan, katanya dijual oleh siapa saya juga tidak tahu,” kata Wardian.
Ia masih berupaya merebut kembali kebunnya meski harus berurusan dengan polisi dan berbagai penolakan perusahaan. ”Sekarang beras harus beli, tak lagi bisa menanam padi. Hutan pun tak bisa memberi bahan baku kapal seperti dulu,” katanya.
Sumber masalah
Bukannya masyarakat tak berjuang. Mereka sampai tahap bosan meminta pemerintah memeriksa pencemaran di danau. Banyak saksi melihat pihak perusahaan membuang limbah CPO ke danau, baik langsung maupun ke sungai di sekitar danau. Namun, tak pernah ada penyelidikan atau pemeriksaan.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalteng Halind Ardi mengatakan, semua perusahaan sawit anggota Gapki, termasuk di Seruyan, melewati berbagai macam pemeriksaan, termasuk pembuangan limbah. Jika masih ada pembuangan limbah, perusahaan tak akan dapat hak guna usaha (HGU).
”Pemerintah daerah sendiri mengatakan, tidak ada pencemaran limbah sawit di sana. Kami ini mengikuti saja peraturan yang dibuat,” kata Halind.
Wakil Gubernur Kalteng Habib Said Ismail mengungkapkan, ia sudah membentuk tim untuk memeriksa air danau dan sekitarnya. Investasi seharusnya berdampak baik bagi daerah dan masyarakat. Ia berjanji berupaya agar Danau Sembuluh menjadi obyek wisata karena pesonanya.
Jumat (26/10/2018) di Jakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap 14 orang, yang terdiri dari 8 anggota Komisi B DPRD Kalteng dan 6 dewan direksi dua perusahaan perkebunan sawit di Seruyan, karena dugaan suap. KPK juga menyita uang Rp 240 juta. KPK menetapkan tujuh tersangka.
Dari ketujuh tersangka, empat adalah anggota Komisi B DPRD Kalteng. Mereka memperjualbelikan fungsi pengawasan pembuangan limbah cair di Danau Sembuluh.
Di Sembuluh, korupsi dan keserakahan tidak hanya memusnahkan ikan arwana sumber ekonomi warga, tetapi juga masa depan manusia dan lingkungan.