Baleg DPR tengah menyusun draf RUU Penyadapan. Penegak hukum, kecuali KPK, diusulkan wajib mengantongi izin ketua pengadilan untuk bisa menyadap.
Jakarta, Kompas - Komisi Pemberantasan Korupsi akan dikecualikan dari keharusan meminta penetapan pengadilan untuk menyadap, sebagaimana termuat dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Penyadapan yang sedang disusun Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, KPK tidak memerlukan izin ketua pengadilan untuk menyadap pihak-pihak yang diduga korupsi.
Hal itu mengemuka dalam rapat penyusunan draf RUU Penyadapan yang berlangsung tertutup di Badan Legislasi DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (22/11/2018). Dalam rapat tersebut, Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Partai Amanat Nasional Totok Daryanto mengatakan, muncul usulan untuk mengelompokkan (clustering) isu pokok saat membahas RUU Penyadapan.
Salah satunya mengenai lembaga penegak hukum yang tidak perlu terikat dengan aturan RUU Penyadapan. Totok mengatakan, saat ini sudah ada undang-undang sektoral yang mengatur wewenang penyadapan sejumlah institusi terkait tindak pidana tertentu. Peraturan dalam undang-undang sektoral itu diupayakan tidak sampai bertentangan dengan aturan dalam RUU Penyadapan.
Misalnya, UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang mengatur kewenangan Kepolisian Negara RI (Polri), UU No 35/2009 tentang Narkotika yang mengatur kewenangan Badan Narkotika Nasional, dan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta UU No 30/2002 tentang KPK.
Menurut Totok, beberapa lembaga yang diatur oleh undang-undang yang bersifat khusus (lex specialis) akan dikecualikan dari aturan dalam RUU Penyadapan, antara lain KPK. Saat usulan ini dimunculkan dalam rapat tertutup, menurut dia, tidak ada resistensi dari fraksi-fraksi lain di Baleg.
”Dengan sendirinya dia (KPK) punya kebebasan, tidak harus melalui izin pengadilan. Nanti kita akan kaji satu per satu, termasuk untuk konteks tindak pidana lain, seperti terorisme dan narkotika,” kata Totok yang memimpin rapat tersebut.
Belum final
Pengelompokan isu itu saat ini sedang dirumuskan dan akan diumumkan Senin (26/11). Setelah itu, Baleg akan mengadakan rangkaian rapat dengar pendapat umum untuk menampung masukan dari publik terkait isu-isu krusial.
Sebagaimana diketahui, dalam Pasal 5 Ayat (2) draf RUU Penyadapan sejauh ini disebutkan, pelaksanaan penyadapan dalam rangka penegakan hukum dikoordinasikan dengan lembaga peradilan. Pasal 10 menyebutkan, pelaksanaan penyadapan harus berdasarkan penetapan ketua pengadilan tinggi. Jika penyadapan dilakukan kepada pejabat yang memiliki kewenangan terkait izin penyadapan, penetapan diajukan kepada ketua Mahkamah Agung.
Dalam keadaan mendesak, penyidik bisa menyadap terlebih dahulu tanpa izin ketua pengadilan. Penyidik cukup berbekal persetujuan dari pimpinan pusat pemantauan penyadapan yang harus ada di setiap lembaga penegak hukum. Namun, setelah itu, permohonan penetapan penyadapan harus menyusul diajukan.
Setelah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional 2019, draf RUU Penyadapan terus digodok Baleg DPR. Hingga kini pengaturan mekanisme penyadapan dalam draf tersebut belum final.
Isu lain yang mengemuka adalah mengenai perlindungan data pribadi. Anggota Baleg dari Fraksi PDI Perjuangan, Diah Pitaloka, mengatakan, hal mendasar yang perlu dibahas sebelum mulai membahas pengaturan teknis mekanisme penyadapan adalah jaminan perlindungan data pribadi seseorang.