Perhatian Pemerintah pada Lansia dan Remaja Kurang
Oleh
M Zaid Wahyudi
·3 menit baca
Pembangunan kependudukan belum jadi perhatian banyak pemerintah daerah. Kalaupun ada, umumnya masih terfokus pada pembangunan ibu dan anak.
JAKARTA, KOMPAS - Seperempat penduduk Indonesia saat ini adalah remaja berumur 10-24 tahun. Sementara jumlah warga lanjut usia terus naik, khususnya di daerah yang sudah memasuki bonus demografi. Meski demikian, perhatian pemerintah daerah pada dua kelompok populasi itu sangat terbatas.
Remaja dan lansia merupakan kelompok rentan dalam populasi. Proses tumbuh kembang yang dialami menjadikan remaja mudah terjebak perilaku berisiko hingga memengaruhi kualitas hidupnya saat dewasa. Sedangkan penurunan kondisi fisik lansia membawa banyak masalah ikutan yang akan memengaruhi kualitas hidupnya.
Berbagai kerentanan yang dialami remaja dan lansia itu bisa membawa kerugian ekonomi yang besar. Namun dampak itu sering tak disadari hingga kebijakan, investasi dan intervensi untuk mereka sangat kurang.
Situasi itu tergambar dari studi yang dilakukan Kelompok Penelitian Keluarga dan Kesehatan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2K LIPI) 2018 yang dipaparkan di Jakarta, Kamis (22/11/2018). Studi kebijakan pembangunan bagi remaja, ibu-anak, dan lansia itu dilakukan di Surabaya (Jawa Timur), Medan (Sumatera Utara) dan Mataram (Nusa Tenggara Barat).
Puguh Prasetyoputra, peneliti P2K LIPI, mengatakan pemerintah sebenarnya sudah punya kebijakan dan program untuk remaja yang ada di sejumlah kementerian dan lembaga. Namun, keterbatasan kapasitas pemerintah daerah (pemda) membuat kebijakan pusat sulit langsung dijalankan.
Pemerintah sebenarnya sudah punya kebijakan dan program untuk remaja yang ada di sejumlah kementerian dan lembaga.
Pemda umumnya hanya melaksanakan program pusat dan kurang mampu berinovasi sesuai kondisi dan tantangan daerah. Program yang dijalankan pun umumnya belum optimal.
"Program untuk remaja yang dijalankan organisasi non pemerintah cenderung lebih berjalan," katanya. Namun, cakupan dan sumber daya organisasi non pemerintah yang terbatas membuat pelaksanaan program pun ikut terbatas.
Situasi pembangunan lansia pun mirip. Peneliti P2K LIPI lainnya, Dewi Harfina, menilai kebijakan lansia belum jadi prioritas karena otonomi daerah membuat setiap daerah bebas menentukan prioritas pembangunannya. Situasi itu membuat, "Salah satu faktor keberhasilan implementasi program di daerah adalah kepempimpinan yang kuat," katanya.
Kebijakan lansia belum jadi prioritas karena otonomi daerah membuat setiap daerah bebas menentukan prioritas pembangunannya.
Meski demikian, perhatian pemda yang besar terhadap persoalan ibu-anak tak bisa dihindari. Masih tingginya kematian ibu akibat hamil dan melahirkan serta kematian bayi dan balita jadi indikator dasar kualitas pembangunan kesehatan masyarakat.
Kompleksnya masalah kematian ibu-anak membuat Indonesia gagal mencapai target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) 2015. Namun yang lebih menyedihkan, Indonesia harus kehilangan 42 ibu hamil dan 260 bayi baru lahir setiap hari. Jumlah itu jadikan Indonesia negara ASEAN dengan kematian ibu-anak tertinggi.
"Tingginya kematian ibu dan anak punya keterkaitan dengan perilaku kesehatan ibu dan pengasuhan anak," kata peneliti P2K LIPI lain, Yuly Astuti.
Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan Eni Gustina, salah satu pembahas studi, mengatakan pelaksaan berbagai kebijakan kesehatan bagi ibu-anak, remaja dan lansia juga sangat bergantung pada kepedulian dan keaktifan tenaga kesehatan di daerah. Namun, sekali lagi, keaktifan mereka juga sangat bergantung pada pemimpin daerahnya.
Pelaksaan berbagai kebijakan kesehatan bagi ibu-anak, remaja dan lansia juga sangat bergantung pada kepedulian dan keaktifan tenaga kesehatan di daerah.
Keluarga
Investasi dan intervensi pembangunan ibu-anak, remaja, dan lansia tidaklah murah dan mudah. Kebijakan yang baik di tingkat pusat belum tentu berhasil dilaksanakan di daerah. Kondisi geografis, budaya dan sosial ekonomi masyarakat yang beragam membuat kebijakan kependudukan di Indonesia tidak bisa tunggal.
Di tengah kerumitan dan keterbatasan itu, keluarga sebenarnya bisa dimanfaatkan guna mendorong pembangunan remaja, ibu-anak, dan lansia. Sebagai unit terkecil masyarakat, situasi keluarga akan sangat menentukan derajat kesehatan masyarakat dan bangsa.
Kepala Kelompok Penelitian Keluarga dan Kesehatan P2K LIPI Augustina Situmorang mengatakan studi yang dilakukan sejak 2015 hingga 2019 itu diharapkan akan memperoleh rekomendasi strategi bagi pemda untuk memperkuat peran keluarga dalam pembangunan penduduk sesuai siklus hidup manusia.