LEBAK, KOMPAS — Suku Baduy yang bermukim di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Banten, meminta tambahan lahan bercocok tanam. Luas lahan rata-rata yang digarap per keluarga saat ini dianggap tak mampu memenuhi kebutuhan.
Harapan itu disampaikan di sela-sela kunjungan Komisi II DPR dalam rangka pendaftaran tanah sistematis lengkap 2018 dan penyelesaian kasus sengketa pertanahan di Lebak, Kamis (22/11/2018). Kepala Desa Kanekes Saija mengatakan, luas tanah ulayat suku Baduy sekitar 5.150 hektar.
Penghitungan kasar, sekitar 1.000 hektar dari luas itu digunakan untuk bertani. Jumlah warga Baduy saat ini sekitar 12.000 orang atau 8.000 keluarga. Setiap keluarga rata-rata menggarap lahan seluas 0,125 hektar.
Saija mengusulkan lahan di sekitar Kecamatan Leuwidamar bisa dimanfaatkan bercocok tanam. Lahan seluas sekitar 2.000 hektar itu tersebar di lima kecamatan, yaitu Bojongmanik, Cileles, Gunungkencana, Cimarga, dan Muncang.
”Harapan kami, lahan untuk bercocok tanam bisa bertambah. Jika terealisasi, suku Baduy diberikan izin garap saja,” ujarnya. Lahan pertanian di tanah ulayat suku Baduy tak bisa diperluas. Suku Baduy sangat mematuhi adat istiadatnya. Di tanah ulayat terdapat hutan sekitar 3.000 hektar.
Suku Baduy menjaga hutan tanpa mengubah peruntukannya. Suku Baduy hanya menanam padi setahun sekali. ”Padi yang dipanen pun tidak bisa dijual, tetapi disimpan untuk cadangan. Kami menanam berbagai komoditas lain,” kata Saija.
Komoditas-komoditas itu di antaranya pisang, jahe, kencur, dan durian yang bisa dijual. Penghasilan dari bertani dinilai sudah tak memadai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia tak bisa menyebutkan rata-rata penghasilan warga Baduy dari bertani.
”Untuk makan saja cukup karena kami punya simpanan padi. Namun, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain, seperti membeli pakaian atau memperbaiki rumah, belum cukup,” ujarnya. Menurut Saija, persawahan di Desa Kanekes pun sesekali terserang hama atau puso.
Suku Baduy juga membutuhkan lahan untuk permukiman. Meski demikian, kebutuhan itu masih bisa dicukupi dengan tanah ulayat. Saat ini, ada 66 kampung di Desa Kanekes. Ada rumah yang sudah dihuni dua hingga tiga keluarga.
Aspirasi suku Baduy akan kami perjuangkan.
Wakil Bupati Lebak Ade Sumardi mengatakan, kebutuhan suku Baduy terhadap lahan tambahan untuk bercocok tanam bukan berarti memperluas tanah ulayat. ”Luas tanah ulayat tak berubah. Lahan tambahan untuk bercocok tanam yang diminta di luar tanah ulayat,” ujarnya.
Pihak Pemerintah Kabupaten Lebak juga berharap mendapat lahan tambahan untuk memperluas ibu kota Kabupaten Lebak, yaitu Rangkasbitung. ”Kami mengusulkan lahan PTPN (PT Perkebunan Nusantara) VIII seluas 59 hektar bisa dimanfaatkan untuk perluasan Rangkasbitung,” katanya.
Lahan tersebut akan digunakan antara lain untuk rumah sakit, rumah susun sederhana sewa, pasar, dan perkantoran. ”Status lahan itu HGU (hak guna usaha) yang sudah habis, tetapi tidak ada pengajuan perpanjangan sehingga kami berharap bisa memanfaatkannya,” katanya.
Wakil Ketua Komisi II DPR Herman Khaeron mengatakan, lahan tambahan yang dibutuhkan suku Baduy untuk bercocok tanam menjadi perhatiannya. ”Di Kabupaten Lebak terdapat HGU milik swasta dan PTPN VIII. Aspirasi suku Baduy akan kami perjuangkan,” katanya.
Direktur Operasional PTPN VIII Jhoni Tarigan mengatakan, pihaknya sangat memahami dan mendukung aspirasi yang disampaikan Pemkab Lebak. ”Namun, realisasi harapan itu harus melalui beberapa tahap yang bergantung pada Kementerian BUMN (badan usaha milik negara),” ujarnya.