Warga Desak Keberpihakan
Korban gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah terus menyuarakan desakan penghapusan utang kredit.
PALU, KOMPAS Keringanan kredit perbankan ataupun pembiayaan bukan solusi yang diinginkan warga Sulawesi Tengah yang terdampak gempa, tsunami, dan likuefaksi.
Warga tetap mendesak kebijakan pemutihan atau penghapusan utang kredit sebagai wujud keberpihakan pemerintah terhadap korban bencana.
Hal itu dikemukakan sejumlah warga dan pengurus Forum Debitur Korban Bencana Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala (Pasigala), Kamis (22/11/2018).
Mereka merespons sikap beberapa bank yang menyatakan hanya akan memberikan keringanan, bukan penghapusan kredit, bagi korban bencana (Kompas, 22/11).
”Keringanan kredit artinya tetap membayar. Itu seperti ’gempa’ lagi dan bukan solusi bagi warga yang sebagian kehilangan pekerjaan, terancam kehilangan pekerjaan, dan sebagian kehilangan anggota keluarga.
Apalagi, barang yang dicicil, seperti rumah yang kena likuefaksi, sudah tidak ada barangnya lagi,” kata Ando Wibisono, Ketua Forum Debitur Korban Bencana Pasigala.
Forum Debitur Korban Bencana Pasigala pun hingga Kamis (22/11) terus menerima formulir dukungan dari warga korban bencana. Formulir itu berisi data kredit warga bersangkutan dan pernyataan untuk sama-sama berjuang bersama forum hingga kredit korban bencana di Sulteng dihapuskan.
Pengumpulan formulir selama lebih dari 2 minggu itu sebenarnya telah ditutup pada Selasa (20/11). Namun, hingga kemarin warga masih terus berdatangan mengumpulkan berkas. Saat ini telah terkumpul sekitar 15.000 formulir.
Dedi Arman (33), penyintas gempa dan likuefaksi di Petobo, Palu, tidak bisa membayangkan jika harus tetap mengangsur kredit atas rumah yang tidak ada lagi wujud fisiknya. Bahkan, lokasi rumahnya itu pun sudah tak jelas lagi akibat likuefaksi.
Pada Kamis sore, Dedi menuju lokasi rumahnya di Perumahan Petobo. Namun, dia tak bisa memastikan di mana rumahnya sebab kawasan itu sudah menjadi bukit tanah setinggi 6-9 meter.
Dedi baru empat tahun mengangsur kredit rumah di sebuah bank dengan cicilan Rp 4,8 juta per bulan. Jangka waktu kreditnya masih 11 tahun lagi. Padahal, seluruh harta bendanya musnah.
Perlakuan khusus
”Semestinya ada perlakuan khusus terhadap nasabah seperti kami, yakni pemutihan kredit. Saya dengar, daerah lain yang pernah terkena gempa bisa. Tolong pemerintah mempertimbangkan sisi kemanusiaan,” ujar Dedi yang bekerja sebagai karyawan swasta.
Meiting (49), pegawai negeri sipil yang tinggal di Jalan Suharto, Petobo, juga berpendapat senada. Rumahnya tidak musnah karena likuefaksi, tetapi bagian dapurnya rusak parah dan tembok retak-retak.
”Cicilan baru berjalan 3,5 tahun sebesar Rp 3,5 juta per bulan. Masih tersisa 6,5 tahun. Uang yang ada sudah habis untuk memperbaiki dapur karena rumah tetap mesti ditempati. Kami juga butuh uang untuk makan. Mana bisa berpikir mencicil (kredit),” ujar Meiting.
Selain kredit bank yang mulai membuat cemas, kredit perusahaan pembiayaan (leasing) juga mulai mengusik para korban. Salim (35) dan istrinya, Ika (32), kaget ketika mendadak rekening terdebit otomatis Rp 7,5 juta oleh perusahaan pembiayaan.
”Kami ambil kredit mobil selama 5 tahun. Sudah berjalan setahun dengan cicilan per bulan Rp 2,5 juta. Kami sudah ajukan penangguhan pascagempa. Namun, ini kok mendebit otomatis. Malah (jumlahnya) seperti kami bayar tiga bulan. Ini uang untuk hidup,” kata Salim, warga Palu.
Selain Forum Debitur Korban Bencana Pasigala, perjuangan mewujudkan penghapusan kredit para korban bencana juga disuarakan Forum Perjuangan Pemutihan Hutang (FPPH) Sulteng. Untuk kredit ke bank yang angkanya di bawah Rp 500 juta, FPPH mendesak itu bisa menjadi prioritas penghapusan.
Meski demikian, Koordinator FPPH Sunardi berpendapat, pemerintah jangan hanya menekan bank, tetapi juga perusahaan pembiayaan.
”Sebab, lebih banyak orang yang kredit sepeda motor dan mobil kepada pihak leasing daripada kredit rumah dan kredit usaha ke bank,” ujarnya. (PRA)