Aliansi Harga Mati AS dan Arab Saudi
Presiden Amerika Serikat Donald Trump membela mati-matian Arab Saudi, terutama Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman, pada kasus pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi. Tekanan internasional dan bahkan temuan badan intelijen CIA tak mampu mengubah sikap Trump. Aliansi lama, transaksi bisnis senjata, dan kepentingan melawan Iran telah mematri hubungan Washington-Riyadh.
Pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Selasa (20/11/2018), bahwa AS tidak akan memberi sanksi kepada Arab Saudi terkait tewasnya wartawan senior Jamal Khashoggi di konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, pada 2 Oktober lalu, dalam konteks geopolitik sangat menguntungkan Arab Saudi dan merugikan Turki.
Setelah muncul pernyataan Trump itu, perimbangan kekuatan dalam konteks geopolitik berubah cukup telak. Posisi Arab Saudi dan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) menjadi kuat dan aman, bahkan berada di atas angin. Selama ini, posisi MBS digoyang karena diduga memerintahkan atau minimal tahu pembunuhan Khashoggi.
Sikap resmi Pemerintah AS yang tecermin dalam pernyataan Trump itu sangat penting dan menentukan. Kasus pembunuhan Khashoggi sejak awal sudah diramalkan akan sarat dengan nuansa pertarungan geopolitik mengingat posisi Arab Saudi dan Turki yang berseberangan dalam peta geopolitik di Timur Tengah saat ini.
Turki adalah pendukung kuat gerakan demokrasi melalui kendaraan musim semi Arab tahun 2011. Mereka menjalin hubungan dekat dengan Iran, apalagi setelah terbentuknya forum Astana pada Januari 2017 yang beranggotakan Rusia, Turki, dan Iran guna mencari solusi politik di Suriah.
Sebaliknya, Arab Saudi menolak keras gerakan musim semi Arab yang dinilai telah mengantarkan gerakan Islam politik ke panggung kekuasaan di sejumlah negara Arab. Arab Saudi kini menganggap gerakan Islam politik membahayakan kekuasaan keluarga Al-Saud di negara itu. Arab Saudi juga menetapkan Iran sebagai musuh bebuyutan. Iran dianggap mengancam keamanan negara-negara Arab Teluk dan kepentingan Arab Saudi di Timur Tengah.
Maka, Turki sejak awal menggunakan kasus pembunuhan Khashoggi untuk menyudutkan dan sekaligus melemahkan Arab Saudi sebagai bagian dari pertarungan geopolitik tersebut. Arab Saudi berusaha membela dengan segala cara untuk menyelamatkan diri akibat kasus pembunuhan Khashoggi.
Sikap resmi Pemerintah AS yang disampaikan Trump cukup menyelamatkan posisi Arab Saudi lantaran kapasitas dan nilai strategis hubungan AS-Arab Saudi selama ini. Bagi Arab Saudi dan AS, isu Khashoggi sudah selesai pasca-pernyataan Trump itu. Arab Saudi kini bisa menganggap kasus pembunuhan Khashoggi seperti angin lalu jika ada negara lain atau lembaga yang terus mempermasalahkan kasus itu.
Minyak untuk keamanan
Di mata Riyadh, hanya AS yang bisa memengaruhi masa depan Arab Saudi dan kekuasaan keluarga besar Al-Saud mengingat hubungan strategis kedua negara itu dalam konteks politik, ekonomi, militer, dan keamanan. Hubungan AS-Arab Saudi sudah terpatri oleh ideologi yang digariskan dalam pertemuan antara Raja Abdulaziz al-Saud dan Presiden AS Franklin D Roosevelt di atas kapal perang USS Quincy di Laut Tengah tahun 1945, yang dikenal dengan kesepahaman ”Keamanan dengan imbalan Minyak” (Oil for Security Formula).
Pasca kesepahaman tersebut, AS berjanji menjaga keamanan Arab Saudi dari ancaman dalam negeri dan luar negeri dengan imbalan Riyadh berkomitmen mengamankan suplai minyak ke AS dengan harga murah. AS dan Arab Saudi cukup berkomitmen melaksanakan kesepahaman ”Keamanan dengan imbalan Minyak” itu selama 70 tahun lebih sejak kesepahaman antara Raja Abdulaziz dan Roosevelt.
Kesepahaman itu hanya sempat terganggu ketika Arab Saudi memimpin gerakan embargo minyak Arab terhadap AS dan Barat pada saat perang Arab-Israel tahun 1973. AS dan Barat mendukung Israel. Akibat embargo itu, harga minyak naik beberapa kali lipat: dari 3 dollar AS menjadi 12 dollar AS per barel.
Pascaperang Arab-Israel 1973, Raja Faisal bin Abdulaziz dan Menlu AS Henry Kissinger sepakat tentang pentingnya AS dan Arab Saudi kembali kepada kesepahaman ”Keamanan dengan imbalan Minyak”. Pasca-kesepakatan Raja Faisal-Kissinger itu, hubungan AS-Saudi makin mesra dan kian kuat. AS membuktikan komitmennya terhadap kesepahaman ”Keamanan dengan imbalan Minyak” itu dengan secara cepat mengirim ribuan pasukan ke Arab Saudi ketika Irak melancarkan invasi ke Kuwait pada 1990.
Apa yang dilakukan Presiden Trump saat ini terhadap Arab Saudi terkait kasus pembunuhan Khashoggi sesungguhnya adalah bagian dari komitmen AS atas kesepahaman ”Keamanan dengan imbalan Minyak” yang dicapai tahun 1945 itu. Semua presiden AS, sejak era Roosevelt hingga Trump, tercatat memegang teguh komitmen pada kesepahaman tersebut.
Transaksi senjata
Apalagi kesepahaman itu dalam sejarahnya disertai dengan penjualan senjata buatan AS secara besar-besaran kepada Arab Saudi dengan dalih memperkuat keamanan negara itu, yang tentu sangat menguntungkan AS secara ekonomi. Seperti disebutkan Trump, Arab Saudi dan AS kini terikat komitmen transaksi senilai 450 miliar dollar AS, dengan 110 miliar dollar AS dari nilai tersebut akan dibelanjakan untuk membeli peralatan militer buatan AS. Trump mengklaim, transaksi akan menciptakan ratusan ribu lapangan kerja dan memajukan perekonomian AS.
Sebelumnya, sejak 1965 hingga 1981, Arab Saudi telah membelanjakan senilai 34 miliar dollar AS untuk membeli peralatan militer buatan AS. Era 1970-an dan 1980-an dikenal dengan era pembaruan peralatan militer Arab Saudi secara besar-besaran yang dilakukan AS. Pada era itu, Arab Saudi membeli 60 pesawat tempur modern buatan AS, F-15, dan beberapa pesawat pengintai buatan AS, AWACS. Setelah memiliki pesawat tempur F-15 dan AWACS, Arab Saudi menjadi negara dengan kekuatan militer paling modern di Timur Tengah setelah Israel saat itu.
AS kini juga memiliki Armada V di Bahrain yang merupakan pusat konsentrasi Angkatan Laut AS terbesar di Timur Tengah untuk menjaga keamanan Arab Saudi dan negara Arab Teluk.
Arab Saudi pun terus menunjukkan komitmennya menjaga kesepahaman dengan AS, dengan menjamin suplai minyak dengan harga yang rasional. Rabu lalu, Trump menyampaikan terima kasih kepada Arab Saudi yang telah menjaga harga minyak dengan harga yang rasional. Trump sangat berharap dan bergantung pada Arab Saudi untuk menjaga stabilitas harga minyak dunia yang rasional pascasanksi AS di sektor energi kepada Iran, 5 November lalu.
Bagi Trump, nilai Arab Saudi kini semakin strategis setelah Trump secara sepihak pada Mei lalu membatalkan kesepakatan nuklir dengan Iran yang dicapai pada Juli 2015. Titik temu kepentingan AS-Arab Saudi saat ini semakin besar untuk bersama-sama menghadapi ancaman Iran dan sekaligus berusaha meredam pengaruh Iran itu.
Selain itu, Trump juga sangat membutuhkan Arab Saudi untuk memerangi kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). AS saat ini sering menggunakan teritorial udara Arab Saudi untuk pesawat-pesawat tempurnya yang akan menggempur sasaran NIIS di Irak, Suriah, dan Afghanistan.
Tak lupa pula, hubungan khusus MBS dan penasihat politik Trump yang juga menantunya, Jared Kushner, juga memengaruhi keputusan Trump. Dalam konteks perkembangan geopolitik itu, sangat wajar jika Trump lebih memilih menjaga hubungan dengan Arab Saudi daripada membela mati-matian Khashoggi.