AMBARAWA, KOMPAS — Lokomotif legendaris bantuan Amerika Serikat pada 1950 untuk Indonesia, lokomotif CC200, ternyata pernah dinaiki Presiden Soekarno. Bung Karno naik lokomotif buatan dua perusahaan besar General Electric dan Alco itu saat uji coba lokomotif menyusuri rel Manggarai-Kota. Bung Karno sempat masuk ke ruang kemudi dan menyebut lokomotif CC200 sebagai kereta api kebanggaan Indonesia.
Ihwal Bung Karno naik loko CC200 itu disampaikan pencinta sekaligus penggiat Indonesian Railway Preservation Society (IRPS), Faishal Ammar, Sabtu (24/11/2018). Faishal hadir pada peringatan 65 tahun masa dinas loko CC200 di Museum Kereta Api Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
”Saat Bung Karno naik loko CC200 itu, loko itu diawaki tiga orang, di antaranya Budi Wangsa dan Joko Suyoto. Bahkan, menurut pengakuan Joko Suyoto, Bung Karno sempat mengendalikan lajunya kereta api loko CC200,” ujar Faishal.
Loko CC200 digunakan untuk mengangkut delegasi Konferensi Asia Afrika yang berlangsung di Bandung. Loko CC200 menarik 5-7 gerbong kelas satu dengan ditumpangi para duta besar dan menteri negara-negara peserta KAA.
Diskusi memperingati 65 tahun masa dinas loko CC200 itu diikuti lebih dari 40 orang, terdiri dari penggiat dan pencinta kereta api. Selain IRPS juga ada wakil Yayasan Kereta Anak Bangsa, Komunitas Rel Daerah Operasional 04 Semarang, serta PT Kereta Api Indonesia. Turut hadir dosen arsitektur dan penggiat IRPS, Ratri Septiana Saraswati, dari Universitas PGRI Semarang.
Peneliti transportasi kereta api yang juga dosen Unika Soegijapranata, Semarang, Tjahjono Raharjo, mengatakan, bantuan kereta api loko CC200 berasal dari Amerika Serikat. Bantuan diberikan kepada Pemerintah Indonesia di tengah situasi perang dingin antara kubu AS dan kubu Uni Soviet (sekarang Rusia). Bantuan kereta api ini bagian dari upaya AS dalam membantu perekonomian Indonesia supaya Indonesia tidak ikut blok Uni Soviet.
”Selama ini, Kota Semarang merupakan kota pertama kali ada kereta api di Indonesia. Pada 10 Agustus 1867, untuk kali pertama resmi dioperasikan angkutan penumpang kereta api untuk umum, melayani dari Stasiun Semarang menuju Tanggung (Tanggoeng) sepanjang 25 kilometer melintas Halte (Stasiun) Alas Tua (Allas-Toewa) dan Halte Brumbung (Broemboeng) dengan karcis 6-8 gulden,” ujar Tjahjono.
Sebelumnya, banyak lokomotif berasal dari Belanda atau Jerman. Namun, saat loko CC200 tiba menjadi era awal lokomotif dari AS merajai jalanan rel kereta api di Jawa. Indonesia memperoleh bantuan loko itu sebanyak 27 unit. Dari jumlah itu, hampir 16 loko CC200 oleh Djawatan Kereta Api (PT Kereta Api sekarang) digunakan untuk kereta pengangkut barang, sisanya baru untuk kereta penumpang.
Faishal Ammar menuturkan, dokumen paling lengkap mengenai data loko CC200 berada di Stasiun Yogyakarta. Padahal, sisa loko CC200 yang masih utuh justru ada di Cirebon dan akhirnya tersimpan di Museum Kereta Api Ambarawa. Loko ini memiliki lebar 2,08 meter, panjang 17,7 meter, dan berat sekitar 96 ton. Memiliki kapasitas bahan bakar sebanyak 1.900 lter, uniknya untuk pengisian bahan bakar dilakukan dari atap loko.
Loko CC200 yang ada di Indonesia ternyata lebih spesial dibandingkan loko sejenis di negara lain. Khusus Loko CC200 yang ada di Indonesia bukan hanya sebagai lokomotif diesel elektrik pertama. Namun, bentuk bodi loko yang desainnya double bogie, penggerak masing-masing dengan 3 gandar penggerak dan 6 motor traksi dan satu bogie idle terdiri atas 2 pasang roda. Double bogie inilah yang membuat istimewa dibandingkan loko sejenis di Argentina, Chile, Thailand, ataupun di Filipina.
Pada praktiknya, meski loko CC200 banyak digunakan untuk menarik kereta barang, kereta api ini pernah pula menempuh perjalanan Jakarta-Semarang-Solo-Surabaya. Kecepatan kereta ini dapat mencapai 125 kilometer per jam, tetapi laju kereta yang direkomendasikan pabrik hanya 90 kilometer per jam.
Selama beroperasi, menurut Faishal, loko CC200 termasuk loko yang paling legendaris dibandingkan loko lain. Loko CC200 juga tercatat pernah mengalami peristiwa tragis. Salah satunya pada 17 Juni 1973, saat menghela kereta barang dalam perjalanan lewat Stasiun Telawa, ruas jalur Semarang-Solo, loko ini bertabrakan dengan KA 75 Pandanaran yang ditarik loko BB200-35. Dari peristiwa ini ditelusuri, ternyata mesin CC200 mati sehingga suplai udara ke mekanis rem berkurang. Akibatnya, loko tidak bisa direm dan melaju sendiri masuk satu jalur rel dengan kereta KA Pandanaran. Dalam peristiwa ini, 11 penumpang meninggal.
Puncak dari kegagahan loko CC200 akhirnya pada 1986 sebagai era bertahap penghabisan masa operasional loko ini. Sebanyak 17 loko ini dinyatakan afkir dengan berbagai alasan. Pada masa itu masih tersisa lima loko CC200, yakni CC200-08, CC200-09, CC200-15, dan CC200-26. Dari kelimanya,hanya tinggal loko CC200-15 yang berhasil diselamatkan dan kini tersimpan di Museum KA Ambarawa.
”Loko CC200 ini aslinya berwarna putih polos dengan lambang roda bersayap. Untuk mengembalikan kondisi loko CC200 membutuhkan waktu perbaikan cukup lama. Kereta loko yang masih ada diperbaiki pada Oktober 2002, selesai baru Juni 2005. Tahap akhir rehabilitasi loko jadi awal berdirinya komunitas IRPS,” tutur Faishal.