Gibraltar Jadi Ganjalan
BRUSSELS, JUMAT -- Para juru runding Uni Eropa berupaya keras menghilangkan ganjalan ”terakhir” perundingan Brexit, yaitu wilayah Gibraltar yang menjadi sengketa antara Inggris dan Spanyol.
Mereka berharap Perdana Menteri (PM) Spanyol Pedro Sanchez mencabut ancamannya untuk memveto kesepakatan Brexit yang direncanakan ditandatangani oleh para pemimpin Uni Eropa (UE) pada 25 November 2018.
Sanchez mengancam akan melakukan veto jika soal Gibraltar tidak dimasukkan dalam draf kesepakatan. Spanyol menginginkan dalam draf kesepakatan dinyatakan secara jelas bahwa isu Gibraltar bisa dinegosiasikan secara bilateral antara London dan Madrid pasca-Brexit.
”Setelah saya bertemu Perdana Menteri Theresa May, posisi kami sangat berjauhan. Jika tak ada perubahan, kami akan memveto Brexit,” tulis Sanchez dalam Twitter-nya.
Para diplomat menginginkan seluruh draf teks bisa disepakati pada Jumat (23/11) malam sebelum May bertemu dengan Jean Claude Juncker, Sabtu malam.
Sehari menjelang penandatanganan draf kesepakatan Brexit, Spanyol berkeras mengancam akan melakukan veto jika isu Gibraltar tidak dimasukkan dalam draf.
Sejumlah pengamat menyebutkan, ngotot-nya Sanchez itu terkait dengan pemilu di Spanyol yang akan berlangsung pada Desember. Sanchez berharap isu Gibraltar bisa meningkatkan popularitasnya di mata pemilih.
Namun, warga Gibraltar sendiri merasa mereka telah dimanipulasi untuk kepentingan politik di Spanyol ataupun di Inggris. Ahli anestesi Hamish Thomson (44) mempertanyakan mengapa Spanyol yang memiliki wilayah setengah juta kilometer persegi dengan populasi 46 juta orang masih mempersoalkan area seluas 6 km persegi dengan penduduk 30.000 orang.
Warga Gibraltar, Elton Moreno (44), merasa mereka selalu menjadi korban permainan politik. ”Saya heran jika ada yang terkejut dengan situasi ini, bahwa kami selalu dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Saya sudah lelah melihat Gibraltar selalu menjadi sorotan,” ujarnya.
Gibraltar adalah wilayah seluas 6,8 km persegi yang dipisahkan oleh dinding batu gamping. Wilayah ini diserahkan oleh Spanyol kepada kerajaan Inggris dalam Traktat Utrecht pada tahun 1713 untuk mengakhiri Perang Spanyol.
Pada 1968, diktator Spanyol, Francisco Franco, memerintahkan perbatasan antara Spanyol dan Gibraltar ditutup setelah mayoritas warga Gibraltar memilih ingin terhubung dengan Inggris. Pada referendum 2016, sebesar 96 persen warga ingin tetap berada di dalam UE.
Tantangan Inggris
Jika kubu UE khawatir dengan ancaman Spanyol, kubu Theresa May menghadapi tantangan yang lebih berat, yaitu ancaman penolakan dari parlemen. Draf Brexit tidak bisa diimplementasikan tanpa dukungan di parlemen.
Kesepakatan Brexit mencakup permasalahan finansial, hak para ekspatriat, cetak biru untuk masa depan perdagangan Inggris-UE, dan masalah perbatasan Irlandia Utara. Kepada parlemen, May mengatakan bahwa kesepakatan itu telah melindungi kesempatan kerja, mengakhiri yuridiksi Mahkamah Eropa di Inggris, memberikan para nelayan Inggris kontrol yang lebih besar terhadap perairan Inggris, dan menghindari hard border antara Irlandia dan Irlandia Utara.
Kesepakatan itu juga akan membawa Inggris pada kerja sama perdagangan bebas dengan UE dan membuat Inggris bisa membangun kerja sama perdagangan langsung dengan negara mana pun di dunia.
Namun, optimisme May disambut dingin oleh mayoritas anggota parlemen. Ketua Partai Buruh Jeremy Corbyn menilai, kesepakatan itu merepresentasikan kegagalan Partai Konservatif dan PM May dalam dua tahun negosiasi. ”Kesepakatan itu mewakili yang terburuk dan Inggris tak akan memiliki suara di bawah aturan UE. Ini adalah lompatan ke kegelapan,” kata Corbyn.
Dengan adanya pembangkangan di tubuh partainya, May membutuhkan dukungan dari Partai Buruh karena Partai Konservatif tidak menjadi mayoritas di parlemen.
(AP/AFP/REUTERS/MYR)