Ketua DPR Tuding Capaian Legislasi Rendah karena Pemerintah
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rendahnya tingkat kehadiran anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 ikut berdampak terhadap rendahnya produksi undang-undang. Kondisi itu berpotensi semakin parah di tengah masa kampanye Pemilihan Umum 2019 karena anggota DPR yang 94 persennya kembali mencalonkan diri lagi sibuk berkampanye ke daerah pemilihan masing-masing.
Menanggapi kritik itu, Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta agar bukan hanya DPR yang disalahkan atas rendahnya kinerja legislasi, melainkan juga pemerintah.
”Kita bisa lebih jauh lagi meneliti apa penyebab pembahasan sebuah RUU tertunda. Apakah karena disebabkan kelambatan di pihak DPR RI atau di pemerintah yang sering kali tidak hadir dalam rapat kerja dengan komisi terkait?” kata Bambang di Jakarta, Sabtu (24/11/2018).
Ia mencontohkan, pembahasan Rancangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pemerintah sampai saat ini belum mengirimkan daftar inventarisasi masalah sehingga pembahasan belum dapat dimulai.
Kendala dari pemerintah, ujar Bambang, juga muncul dari pembahasan RUU Karantina Kesehatan. Karena adanya pergantian Direktur Jenderal (Dirjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan yang mewakili pemerintah, Dirjen yang baru memerlukan waktu untuk mempelajari substansi RUU.
”Saya sampai perlu menelepon Ibu Menteri Kesehatan. Akhirnya rapat pembahasan bisa kembali dilanjutkan dan RUU itu bisa disahkan pada Juli 2018,” kata Bambang.
RUU tentang Pengaturan Peredaran Minuman Beralkohol dan RUU Tembakau juga sudah melewati 10 kali masa persidangan, tetapi belum tuntas. Menurut Bambang, hal itu juga antara lain karena minimnya kehadiran pihak pemerintah. ”Semua ada catatannya di kesekjenan DPR," kata Bambang.
Sebelumnya, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengeluarkan hasil pemantauan terhadap Masa Persidangan I DPR Tahun Sidang 2018-2019 dari 16 Agustus sampai 30 Oktober 2018.
Dari tujuh kali rapat paripurna yang terdeteksi presensinya selama Masa Persidangan I DPR Tahun Sidang 2018-2019 (16 Agustus-30 Oktober 2018), hanya rapat paripurna pembukaan masa sidang yang memenuhi kuorum atau dihadiri 367 anggota DPR.
”Sisanya, rapat paripurna lain, sebenarnya tak pernah kuorum atau tak sah jika mengacu pada aturan undang-undang,” kata peneliti Formappi, Lucius Karus.
Jumlah kehadiran anggota dalam rapat-rapat paripurna selain pembukaan masa sidang tercatat juga paling sedikit 161 orang dan paling banyak 232 orang, atau di bawah batas kuorum.
Realisasi jumlah rapat Komisi I hingga XI satu kali masa sidang juga tak sesuai dengan rencana dari jumlah rapat yang disusun sejak awal. Komisi III (hukum, hak asasi manusia, dan keamanan) dan Komisi IV (pertanian, pangan, maritim, kehutanan) juga tercatat sebagai dua komisi dengan jumlah rapat paling sedikit dibandingkan dengan komisi lainnya. Selama 2,5 bulan bersidang, Komisi III hanya mengadakan sembilan kali rapat dan Komisi IV sebanyak delapan kali.
Itu berpengaruh terhadap kinerja legislasi DPR yang juga rendah. Lucius bahkan menyebut kinerja DPR periode ini terendah dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya.
Formappi menyoroti DPR yang menunda penyelesaian pembahasan sejumlah RUU prioritas. RUU-RUU yang sudah dibahas selama lebih dari lima kali masa sidang disetujui untuk diperpanjang waktu pembahasannya.
Padahal, berdasarkan Pasal 143 Peraturan Tata Tertib DPR, pembahasan RUU maksimal dilakukan tiga kali masa sidang.