Ajaran agama kerap disalahkan sebagai pemicu diskriminasi terhadap perempuan di Barat. Sebaliknya di Timur, ajaran agama tidak serta merta dijadikan tuntunan untuk meninggikan derajat perempuan di masyarakat. Namun, kelompok-kelompok perempuan bermunculan untuk menunjukkan bahwa mereka dapat berdaya sesuai keyakinan kepercayaan mereka.
Kesimpulan tersebut dapat dipahami setelah menonton film dokumenter "Women Sense Tour, Episode 2: Indonesia". Film tersebut diputar dalam rangka menyambut Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan (25 November 2018), dengan melibatkan United Nations (UN) Women Indonesia, di Institut Francais Indonesia, Jakarta, Sabtu (24/11/2018).
Film yang ditayangkan merupakan karya sutradara asal Perancis Sarah Zouak dan Justice Devillaine. Sarah yang juga tampil dalam film tersebut menunjukkan dirinya sebagai feminis muslim keturunan migran Maroko, Afrika Utara. Sentimen terhadap identitas dirinya oleh masyarakat Perancis membuatnya penasaran dengan nasib perempuan muslim lain di belahan dunia yang berbeda.
"Melalui potret perempuan inspiratif di berbagai belahan negara, kami ingin mendobrak identitas tunggal mengenai perempuan muslim yang digambarkan media di dunia secara umum. Terkhusus di Perancis, di mana kami dianggap kaum yang tertindas oleh agama dan perempuan muslim tidak bisa sekaligus menjadi feminis," kata Sarah.
Sarah dan Justine mendatangi negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, seperti Maroko, Tunisia, Turki, Iran, dan Indonesia. Di masing-masing negara tersebut mereka mengangkat profil perempuan muslim inspiratif. Di Indonesia, potret lima perempuan inspiratif ditunjukkan dengan komitmen mereka dalam mendukung pemberdayaan perempuan di komunitasnya masing-masing.
Ada Masnuah Mbanuk pendiri Koperasi Nelayan Perempuan Puspita Bahari, Lita Anggraini pendiri Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (PRT), pendiri Bisnis Sosial Wangsa Jelita Nadya Saib, Latifah Iskandar pendiri Rifka Annisa Women\'s Crisis Center (WCC) untuk mendampingi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, tak ketinggalan koordinator Perkumpulan Panca Karsa untuk Advokasi Buruh Migran Endang Susilowati.
Film berdurasi kurang lebih 60 menit tersebut berusaha menggali tantangan yang dihadapi para pendiri perkumpulan tersebut. Perkumpulan Puspita Bahari yang dibentuk untuk memberdayakan isteri dan anak perempuan dari keluarga nelayan di Demak, Jawa Tengah, misalnya, pada awalnya tidak mudah mendapat kepercayaan dari lingkungan nelayan yang patriarki.
Upaya Rifka Annisa WCC dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan domestik terhadap perempuan juga sering dinilai pelanggaran privasi. Namun, dalam film tersebut, Latifah mencoba menyadarkan nilai-nilai agama yang menghargai status dan hak perempuan.
Penghargaan terhadap status dan hak perempuan bagi pengusaha muda seperti Nadya Saib bukan berarti menyamakan posisi perempuan dan laki-laki. "Untuk menerapkan keadilan status gender itu kita harus memahami kebutuhan laki-laki dan perempuan," ujarnya seusai acara pemutaran film. Hal tersebut ia yakini dari pemahamannya terhadap ajaran Islam, yang kini membentuk karakter wirausahanya.
"Sebagai pribadi, karakter yang harus dimiliki muslim itu ternyata juga harus dimiliki pengusaha. Contohnya, pengusaja itu harus cerdas, jujur, juga adil sehingga tidak merugikan orang lain," imbuh pengusaha produk kecantikan alumni Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.
Sementara bagi Lita, ajaran agama untuk mengasihi sesama ia jadikan pendorong untuk memberdayakan sesama perempuan. "Oleh keluarga saya selalu diajari untuk mengambil pilihan berdasarkan kecintaan dan keyakinan. Saya pun memilih terus berjuang bersama PRT karena prihatin, perempuan selalu didudukkan dalam lapisan terbawah dan ini tidak dianggap sebagai persoalan," ungka dia.
Bagi perempuan-perempuan inspiratif tersebut, perjuangan untuk mendapatkan keadilan dan memberdayakan sesama perempuan, harus berlandaskan keyakinan yang kuat, termasuk dengan keyakinan beragama. Selain itu, persatuan antarelemen masyarakat juga menjadi sumber kekuatan yang membangun pemberdayaan. (ERIKA KURNIA)