Para narasumber konferensi pers oleh Koalisi Perempuan untuk Keadilan Nuril di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (24/11/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Korban kekerasan seksual verbal kerap sulit mendapat keadilan karena inisiatif atau prosedur penegakan hukum yang bermasalah. Tidak adanya bukti fisik dari kekerasan jenis tersebut menjadi kendala, seperti kasus yang dialami guru asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, Baiq Nuril.
Untuk itu, korban perlu mendapat dukungan dan pendampingan dari berbagai pihak agar kasus tertangani dan memberi efek jera kepada pelaku. Pendapat tersebut terungkap dalam konferensi pers oleh Koalisi Perempuan untuk Keadilan Nuril di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (24/11/2018).
Siti Mazuma, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta, mengatakan bahwa pembuktian kasus kekerasan seksual terkadang menjadi hambatan penegakan hukum bagi korban, terlebih pada kasus di ruang privasi yang tidak memungkinkan adanya saksi.
Hal demikian juga banyak menjadi hambatan bagi pengungkapan kasus kekerasan verbal yang mengakibatkan trauma psikis. ”Dalam kasus-kasus yang sulit dibuktikan seperti itu, korban perlu kita bela bersama agar tidak berdampak lebih buruk kepada korban dan orang lain yang akan bisa bernasib sama,” ujarnya.
Keberhasilan pendampingan hukum bagi korban kekerasan seksual verbal, sebagai contoh, telah didapatkan Nuril. Pada 19 November 2018, Nuril melaporkan pelaku, yang merupakan atasannya di sekolah, atas dugaan pelecehan seksual di tempat kerja sesuai Pasal 294 Ayat (2) Angka 1 KUHP.
Upaya tersebut baru dilaksanakan setelah putusan hukum kasasi oleh Mahkamah Agung menjerat Nuril pada 7 November lalu. Ia dianggap terbukti menyebarkan percakapan yang mencemarkan nama baik pelaku, seperti diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
KOMPAS.COM/FITRI
Baiq Nuril menghapus air matanya saat ditemui di rumahnya di Perumahan BTN Harapan Permai, Labuapi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin (12/11/2018). Nuril kecewa atas keputusan MA yang mengabulkan kasasi Kejaksaan Tinggi NTB atas kasus pelanggaran UU ITE.
Pada awalnya, tahun 2012, Nuril berulang kali harus mendengarkan pengalaman asusila dari pelaku, yang merupakan atasannya di sekolah, melalui telepon. Suatu saat, ia merekam pembicaraan telepon dengan pelaku. Namun, bukti tersebut tidak ia laporkan segera kepada pihak berwenang. Namun, pada 2015, rekaman tersebut menyebar melalui pihak ketiga dan menjebloskan Nuril pada tingkat peradilan tertinggi.
Dukungan psikologis
Korban kekerasan seksual verbal seperti Nuril juga bisa mendapatkan keadilan dari penegak hukum dengan pembuktian kekerasan psikis. Pihak advokasi, seperti LBH, dapat membantu menghadirkan alternatif bukti berupa visum et repertum (VeR) psikiatri. VeR psikiatri adalah visum untuk mengetahui status kejiwaan seseorang dengan menggunakan ilmu psikiatri.
Terobosan tersebut, menurut Zuma, telah dilakukan beberapa kepolisian. Namun, tidak sedikit aparat hukum yang tidak memiliki inisiatif atau tidak paham mengenai pentingnya alternatif pembuktian perkara tersebut. ”Kerja sama advokat dengan aparat penegak hukum akan membuka peluang-peluang yang menguntungkan korban,” ujarnya.
ERIKA KURNIA UNTUK KOMPAS
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta Siti Mazuma.
Satu contoh kekerasan seksual verbal yang pernah ditangani dengan upaya pembuktian tersebut adalah kasus pelecehan seorang perempuan oleh empat petugas transjakarta pada 2014. Keempat petugas tersebut dijerat dengan Pasal 281 KUHP tentang Pelecehan Seksual.
Tidak hanya dukungan dalam penegakan keadilan, korban kekerasan seksual juga memerlukan dukungan psikologis secara personal. Mieke Verawati, Sekretaris Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia DKI Jakarta, mengatakan, ”Penguatan psikis, baik personal maupun sosial, perlu agar kekerasan seksual tidak terus dianggap sepele.”
Dengan demikian, ia menyatakan, penegakan keadilan bagi kasus Baiq Nuril perlu dikawal. Hal tersebut penting agar kasus serupa tidak memicu ketakutan bagi korban bernasib sama untuk melaporkan kasus kekerasan.
Kasus kekerasan seksual verbal di Indonesia belum banyak terdata. Namun, dari beragam bentuk kekerasan yang didapatkan perempuan, jumlahnya terus meningkat.
Dari Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pada tahun 2017 jumlah kekerasan terhadap perempuan mencapai 348.446 kasus atau meningkat sekitar 25 persen dibandingkan tahun 2016 yang jumlahnya 259.150 kasus (Kompas, 8/3/2018).
Kekerasan seksual di ranah privat dengan pelaku orang terdekat paling banyak dilaporkan sepanjang 2017 dengan jumlah 1.210 kasus. Kekerasan dalam rumah tangga, yang ditunjukkan dengan angka kekerasan terhadap istri, terus bertambah mencapai lebih dari 5.000 kasus dalam setahun. (ERIKA KURNIA)
