Mimpi Anak-anak Pulau Seram dari Balik Daun Sagu
Masyarakat pelosok Pulau Seram, Maluku, enggan meratapi nasib. Demi mewujudkan mimpi buah hati, orangtua turun tangan membangun sekolah darurat beratap daun sagu.
Bangunan SD Sabuai di Desa Sabuai, Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur, itu bisa diartikan tonggak sejarah pendidikan di kampung itu.
Dua tahun menumpang di balai desa, September 2018, para orangtua menyelesaikan pembangunan sekolah baru. Di sanalah anak-anak meniti masa depan.
Bangunan sekolah berukuran 12 meter x 5 meter itu beratap daun sagu atau rumbia, berdinding papan yang disambung pelepah sagu. Bagian lantai ditimbun tanah dilapis belahan bambu. Sagu dan papan mudah didapat di daerah itu sehingga tidak perlu membeli.
Bangunan darurat itu lalu dibagi menjadi empat bilik dengan ukuran berbeda. Tiga ruangan untuk kelas I, II, dan III serta satu ruang kantor. Setiap kelas diisi kursi dan meja kayu yang dibuat orangtua siswa. Meja dan kursi guru tidak ada.
Guru memakai kursi dari kantor. Di kantor terdapat 6 kursi plastik dan 2 meja kayu sumbangan desa.
Tidak terlihat lemari di sana karena sekolah belum dilengkapi buku-buku pelajaran. Materi pelajaran yang diberikan umumnya menulis, membaca, berhitung, pengetahuan agama, dan kewarganegaraan.
Materi itu berdasarkan ingatan Eni Rosita Wailussa dan tiga guru lain. ”Kami ingat saja pelajaran yang kami dapat dulu di SD,” kata Eni, ditemui di sekolah itu, Senin (5/11/2018).
Penunjang kegiatan belajar-mengajar adalah papan dan spidol. Itu saja. Buku, apalagi alat peraga, masih dalam mimpi. Perlengkapan lain adalah jadwal mata pelajaran, poster karya siswa, dan lonceng sekolah berupa lempengan besi yang dipungut Eni dari proyek menara jaringan telekomunikasi.
Eni salah satu penggerak sekolah itu. Perempuan berhijab itu berstatus PNS, sedangkan tiga guru lain honorer tanpa gaji. Tiga tahun mereka mengabdi di sana sejak angkatan pertama.
Inisiatif warga
Sebelum sekolah darurat dibangun, kegiatan belajar-mengajar dilangsungkan di kantor Desa Sabuai. Namun, saat angkatan bertambah, ruang kantor desa tak mampu menampung lagi. Kini, total ada 30 siswa.
Warga berinisiatif membangun sekolah sendiri di lahan keluarga Malaihollo. Mereka bergotong royong mencari bahan di hutan, lalu bersama-sama membangun. Sagu, kayu, dan bambu mudah didapat. Adapun bahan seperti paku dibeli dari uang warga. Ada juga bantuan dana desa.
Untuk kegiatan belajar-mengajar, seluruh keluarga (bukan hanya orangtua siswa) di kampung itu menyetor iuran Rp 5.000 per keluarga. Sumbangan itu ditetapkan dalam peraturan desa.
”Kami harus memulai ini demi masa depan generasi di sini. Tak perlu menunggu terlalu lama. Mari berbuat selagi masih bisa,” kata tokoh agama di Sabuai, Pendeta Dessy Patty.
Berdirinya sekolah itu merupakan jawaban atas penantian panjang warga. Selama ini, anak-anak di Sabuai yang hendak sekolah harus berjalan kaki ke desa tetangga. Mereka melewati beberapa sungai dan anak sungai dengan risiko banjir.
Kala hujan, mereka memilih meliburkan diri sehingga banyak anak akhirnya putus sekolah. Kini, sekolah sudah berdiri. Selanjutnya akan dibangun beberapa ruangan mengingat tahun depan akan ada tambahan angkatan baru.
Mencapai Sabuai butuh perjalanan cukup melelahkan. Dari Ambon, ibu kota Provinsi Maluku, Kompas menumpang perahu cepat hampir dua jam ke Masohi, ibu kota Kabupaten Maluku Tengah.
Perjalanan kemudian dilanjutkan melalui jalur darat sejauh hampir 200 kilometer. Kendaraan yang melewati jalur itu harus menyeberangi setidaknya 18 sungai dan anak sungai yang belum memiliki jembatan penyeberangan.
Ada sungai yang lebarnya hingga 300 meter. Tidak semua kendaraan dapat melewati sungai itu. Tak terhitung banyaknya kendaraan yang hanyut dibawa air. Pada saat musim hujan, daerah yang diapit sungai- sungai itu sering terisolasi selama berhari-hari.
Cita-cita
Kini, pembangunan di wilayah itu gencar dilakukan, mulai dari jalan hingga jembatan. Masyarakat pun berharap dalam waktu dekat pembangunan sarana pendidikan juga akan menyentuh kawasan Sabuai.
Neva Malaihollo, yang kini duduk di bangku kelas III, adalah salah satu anak yang memulai langkah mengejar cita-citanya jadi dokter di sekolah darurat itu. Ia ingin menjadi dokter untuk mengabdi di Sabuai.
Lantaran berada di pelosok sehingga jauh dari layanan kesehatan, banyak pasien di desa itu tidak bisa tertolong. ”Kalau nanti jadi dokter, beta (saya) ingin rawat orang-orang di sini. Terima kasih buat bapa dan mama yang sudah bangun sekolah buat katong (kami),” katanya.
Bukan hanya Sabuai, semangat membangun sekolah di pedalaman juga dilakukan masyarakat Kampung Hatuwolo di utara Pulau Seram. Sabuai terletak di selatan Pulau Seram. Model bangunan juga sama seperti di Sabuai, yakni menggunakan daun sagu, pelepah sagu, bambu, dan papan.
Tenaga pengajar adalah dari kalangan warga sendiri yang dinilai dapat membaca, menulis, dan berhitung dengan lancar. Jarak terdekat kampung itu dengan sekolah permanen sejauh 12 kilometer dengan melewati puluhan sungai dan anak sungai serta hutan rimba.
Jika ingin melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama dan seterusnya, anak-anak dari Hatuwolo dan kampung terdekat harus meninggalkan rumah.
Sekolah itu berada di Wahai, ibu kota Kecamatan Seram Utara, yang dijangkau dengan berjalan kaki selama tiga hari tiga malam. Banyak anak pedalaman memilih menumpang tinggal di rumah keluarga atau kerabat.
Perjuangan masyarakat pedalaman mewujudkan cita-cita generasi muda dengan membangun sekolah menunjukkan betapa mereka memahami pentingnya pendidikan. Dari balik daun sagu, atap sekolah darurat itu, anak-anak pedalaman mulai langkah kecil meraih cita-cita setinggi mungkin.
Kiranya mimpi anak pedalaman Pulau Seram menjadi kenyataan. Sekolah darurat adalah pencapaian penting bagi warga di sana.