JAMBI, KOMPAS - Komunitas adat Orang Rimba yang hidup di ekosistem Bukit Duabelas, Provinsi Jambi, butuh kepastian lahan kelola. Pemerintah dan para pengelola konsesi hutan dan pemegang izin perkebunan diminta mengalokasikan lahan untuk menjadi ruang hidup mereka.
Pemuka Orang Rimba di Bukit Suban, Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Mangku Meriyau, mengatakan, masyarakat masih setia menunggu janji Presiden Joko Widodo menyediakan lahan kelola. Hingga saat ini, puluhan keluarga di kelompok itu masih menumpang hidup darurat di kebun sawit milik penduduk.
Dari total 5.235 warga komunitas Orang Rimba, tak sampai setengahnya hidup nyaman di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Sebagian besar hidup di sepanjang Jalan Lintas Sumatera dan perkebunan sawit dan akasia.
Berbeda dengan tradisi berpindah di masa lalu, Orang Rimba kini hidup berpindah karena kerap diusir pemilik kebun. Mereka pun terpaksa mencari makan dengan cara berburu karena belum punya lahan kelola.
Tiga puluh tahun terakhir, baru dua dari sebelas perusahaan pemegang konsesi hutan tanaman industri dan hak guna usaha sawit yang mau mengalokasikan lahannya untuk ruang hidup Orang Rimba.
Sebenarnya, baik pemerintah pusat maupun daerah pernah mengalokasikan sejumlah areal kelola bagi Orang Rimba. Namun, prosesnya mandek. Sebab, areal yang dialokasikan ternyata sudah dirambah pendatang.
Bupati Merangin Al Haris mengatakan telah mengusulkan pengalokasian lebih dari 2.000 hektar lahan kelola bagi Orang Rimba. Oleh karena lokasi lahan ada di areal hutan negara, pihaknya mengajukan persetujuan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2016. Namun, belum direspons.
Koordinator Program Suku-suku Komunitas Konservasi (KKI) Warsi, Kristiawan, menyebut, saat dicek ke lapangan, lokasi usulan itu telah dirambah. “Bila diberikan untuk dikelola Orang Rimba sama saja menciptakan konflik tenurial,” ujarnya.
Tidak hanya diusulkan Pemkab Merangin, Juli lalu, pengalokasian lahan kelolaan diupayakan lintas kementerian dan pemerintah daerah di Jambi. Luasnya 5.000 hektar di kawasan hutan Kabupaten Batanghari dan Sarolangun. Saat dicek lokasi, ternyata juga telah dirambah.
Komitmen alokasi
Pihak Warsi mengusulkan pemerintah mendorong alokasi lahan kelola bagi Orang Rimba dari areal perkebunan dan tanaman industri. Tiga puluh tahun terakhir, baru dua dari sebelas perusahaan pemegang konsesi hutan tanaman industri dan hak guna usaha sawit yang mau mengalokasikan lahannya untuk ruang hidup Orang Rimba.
PT Wana Perintis misalnya mengalokasikan 114 hektar, sedangkan PT Malaka Agro Perkasa mengalokasikan 150 ha. Sebagian besar perusahaan tidak berkomitmen, meski berulang kali diajak mendukung penyelamatan kehidupan Orang Rimba. “Bahkan, ada perusahaan di Sarolangun yang menolak,” kata Kristiawan.
Kepala Subdit Rujukan, Terminasi, dan Evaluasi Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial, La Ode Taufik Nuryadin, mengatakan, sesuai aturan baru, tugas pemberdayaan komunitas adat terpencil seperti Orang Rimba jadi kewenangan kabupaten. “Tidak ada lagi alasan untuk mengandalkan APBN pusat,” katanya.
Sejak berlakunya Undang-Undang 23 Tahun 2014, dukungan kabupaten terhadap pemberdayaan komunitas adat terpencil (KAT) belum maksimal. Padahal pemberdayaan KAT merupakan prioritas nasional dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah tinggal.
Ia pun mengimbau agar seluruh pemda bekerja sama membangun program terpadu bagi keberlangsungan hidup Orang Rimba.