JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo diminta memberikan amnesti kepada Baiq Nuril Manunggal, guru honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang divonis penjara, padahal di adalah korban pelecehan seksual. Amnesti ini juga sebagai awal negara mewujudkan perlindungan hukum kepada korban kekerasan seksual.
”Kalau kasus ini dibiarkan, korban-korban kekerasan seksual lain yang tidak sedikit jumlahnya di Indonesia akan semakin takut untuk melapor. Dari sini kita melihat langkah Presiden sebagai wujud kepedulian terhadap kasus kekerasan seksual,” kata Ketua Harian Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (Mappi) Dio Ashari Wicaksana, Sabtu (24/11/2018).
Jika amnesti diberikan pada Nuril, ini akan dianggap sebagai langkah awal wujud keseriusan pimpinan negara memperbaiki penanganan kasus kekerasan seksual. Menurut Mappi, setelah amnesti diberikan, regulasi juga harus ikut diperbaiki.
Seperti diketahui, pada 7 November 2018, putusan kasasi oleh Mahkamah Agung (MA) keluar dengan hasil memidana Nuril, korban kekerasan seksual oleh pelapor. Ia dinyatakan melanggar Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga divonis 6 bulan penjara. Ia juga harus membayar denda Rp 500 juta.
Nuril dianggap terbukti oleh MA telah menyebarkan percakapan Kepala SMA Negeri 7 Mataram Muslim. Padahal, Nuril sebelumnya telah diputus bebas di tingkat Pengadilan Negeri Mataram pada 26 Juli 2017.
Dalam putusan MA tersebut dinilai ada beberapa kejanggalan, terutama terkait perlindungan perempuan berhadapan dengan hukum. Oleh karena itu, dukungan untuk Nuril pun terus mengalir. Salah satunya dari Koalisi Perempuan untuk Keadilan Ibu Nuril yang mengadakan diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu. Diskusi bersama media ini dihadiri pula oleh Sekretaris Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jakarta Mieke Verawati dan pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin.
KPI menilai dalam kasus ini MA tidak mempertimbangkan aspek Nuril sebagai korban kekerasan seksual. Perlu pencermatan pada kronologi kasus bahwa Muslim berulang kali menelepon Nuril dengan nada melecehkan secara seksual. Merasa tak nyaman, Nuril kemudian merekam percakapan itu agar dapat menjadi bukti ia telah direndahkan.
Tak terima, Muslim melaporkan Nuril kepada Kepolisian Daerah NTB pada 19 November 2018. Namun, MA membuat putusan bahwa Nuril bersalah dalam kasus ini. Padahal, sudah ada Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa hakim yang memeriksa perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum harus mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan.
”Kita harus bersama-sama mengadvokasi ini karena kasus ini bisa berdampak buruk pada korban pelecehan seksual yang lain karena akan bernasib sama,” kata Direktur LBH Apik Siti Mazuma. (SITA NURAZMI MAKHRUFAH)