Fenomena di pesta pernikahan menarik dicermati. Pilihan waktu, uang sumbangan, dan cara warga memaknai pesta menunjukkan hubungan sosial yang terjaga. Pesta bukan untuk tuan rumah saja, melainkan juga tamu yang hadir.
Sebagian orang memilih waktu akhir tahun untuk melangsungkan pernikahan. Bulan-bulan ini menjadi pilihan favorit karena berbagai alasan. Catatan yang dihimpun Litbang Kompas, setiap tahun, tidak kurang dari 50.000 pasangan suami istri di Ibu Kota mengikrarkan janji hidup bersama. Sebagian pernikahan itu terjadi di pengujung tahun.
Lazimnya, pasangan baru merayakan fase baru hidupnya dengan pesta pernikahan. Pesta ini diadakan sebagai ungkapan rasa syukur sekaligus kesempatan untuk memberitahukan kepada publik bahwa mereka telah menikah. Adapun pelaksanaan pesta bisa digelar rumah keluarga mempelai, hotel, ataupun gedung pertemuan.
Litbang Harian Kompas merekam fenomena ini melalui jajak pendapat yang dibuat akhir Oktober lalu. Hasil jajak pendapat ini menunjukkan lebih kurang tujuh dari sepuluh responden mengaku menerima lebih dari tiga undangan selama tiga bulan terakhir. Selebihnya menerima dua hingga tiga undangan (19,4 persen responden) dan 5,2 persen responden menerima satu undangan sepanjang kurun waktu yang sama.
Menyumbang
Sudah menjadi kebiasaan sebagian warga saat menghadiri undangan resepsi pesta pernikahan dengan memberikan sumbangan uang. Antropolog Clifford Geertsz di buku Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1983) menyatakan, buwuh atau sumbangan merupakan salah satu bentuk kerukunan warga, yang diwujudkan bukan hanya berupa uang, melainkan juga barang.
Belakangan, sumbangan kerap dianggap sebagai upaya mencari keuntungan penyelenggara hajatan. Padahal, kenyataannya biaya resepsi pernikahan tidak serta-merta bisa dipenuhi hanya dengan mengandalkan sumbangan dari para tamu.
Kecenderungan sebagian besar responden dalam memberikan sumbangan juga menggambarkan hal yang sama. Sebanyak enam dari sepuluh responden menyumbang rata-rata tidak lebih dari Rp 100.000. Sementara sekitar sepertiga responden lain menyumbang antara Rp 100.000 dan Rp 300.000, sisanya 2,8 persen menyumbang di atas Rp 300.000.
Menurut catatan Bridestory, salah satu platform untuk profil dan portofolio vendor pernikahan, rata-rata biaya resepsi pernikahan di Indonesia tahun 2016 berkisar Rp 25 hingga lebih dari Rp 600 juta, sesuai dengan tamu yang diundang. Jika tuan rumah mengundang 300 tamu saja, maka dibutuhkan biaya sebanyak Rp 150 juta.
Sementara jika 300 tamu undangan tersebut rata-rata memberikan sumbangan masing-masing Rp 100.000 per orang, maka total sumbangan yang terkumpul hanya sebanyak Rp 30 juta. Angka ini tidak sebanding dengan biaya pesta yang digelar.
Silaturahmi
Resepsi pun juga lebih dimanfaatkan para tamu sebagai ajang silaturahmi, selain menikmati jamuan hidangan yang disediakan. Saat menghadiri resepsi, hampir tiga perempat responden hanya tertarik menikmati hidangan utama atau paling banyak tiga menu makanan saja. Sebenarnya tuan rumah pengundang telah menyediakan berbagai jenis makanan. Alasan praktisnya, menikmati makanan di tempat resepsi tentu tidak terlalu nyaman karena harus berdesakan dan mengantre makanan. Kebiasaan makan ala kadarnya saat resepsi juga terbentuk lantaran mengunjungi resepsi juga menjadi kesempatan untuk bersosialisasi dengan tamu undangan lainnya.
Momentum pesta pernikahan juga identik dengan kebiasaan untuk hadir bersama orang-orang terdekat. Hampir separuh responden mengajak keluarga inti, baik suami, istri, maupun anak. Selanjutnya, sepertiga lebih responden lain memilih mengajak pasangan untuk hadir bersama dalam resepsi pernikahan, sedangkan sisanya (12 persen responden) mengajak teman, tetangga, ataupun saudara.
Pesta pernikahan tak hanya sebatas momen bahagia bagi pasangan yang menikah dan keluarganya, tetapi juga ajang pertemuan para tamu yang hadir.