Kekuatan dari Kekelaman
Jari-jemari tangan kanannya lincah memainkan sebatang litokrayon hitam di atas selembar aluminium. Christine Ay Tjoe (45) mengerjakan alugrafi dan membawa kekelaman hidupnya hadir pada karya lukisan abstrak yang mendunia.
”Alugrafi seperti ini yang ingin saya pamerkan untuk pertama kali nanti di London, Inggris,” ujar Ay Tjoe dalam percakapan di kediamannya di Bandung, Jawa Barat, Rabu (14/11/2018).
Ketika itu ia mencontohkan proses pembuatan karya lukisan abstrak yang akan dipamerkannya di Galeri White Cube Bermondsey di London, 28 November 2018 hingga 20 Januari 2019. Lukisan-lukisan yang akan dipamerkan itu bagian dari karya pertamanya menggunakan media aluminium.
”Tadinya saya mengikuti workshop di ITB (Institut Teknologi Bandung) oleh seniman
Thailand untuk merespons teknik litografi di atas lembar aluminium,” kata Ay Tjoe.
Seniman asal Thailand itu bernama Amnat Kongwaree. Amnat membawa dari Thailand beberapa lembar aluminium setebal 0,2 sentimeter berukuran 44,4 sentimeter x 58,7 sentimeter. Sebelum dilukis, sejenis pasir berwarna putih diusap-usapkan untuk membentuk pori-pori di lembar aluminium tadi. Setelah itu, diberi warna dasar dan siap menjadi sebuah media untuk dilukis.
”Di atas media aluminium, seperti kembali membuat drawing (menggambar). Lebih gampang mengaturnya,” kata Ay Tjoe. Ia tambahkan, idenya banyak, tetapi waktunya sedikit untuk menuangkan ide-ide itu ke dalam lukisan. Teknik alugrafi sangat membantunya mengatasi hal ini.
Lukisan seri
Ay Tjoe baru saja merampungkan pengepakan karya lukisannya untuk dikirim ke London. Ia mengirimkan 18 lembar karya alugrafi, ditambah delapan lukisan cat minyak di atas kanvas dengan berbagai ukuran dari kecil hingga besar. Sebanyak 18 lukisan dengan teknik alugrafi itu diberi judul seri yang sama, yaitu ”Always Floating in a Constant Distance”.
Pada daftar nama karya yang dikirimkan ke London itu, ada tujuh nama untuk karya di atas kanvas. Di antaranya karya berjudul ”What I Believe since My Youth” dengan cat minyak di atas kanvas berukuran 230 cm x 400 cm. Lainnya, dengan media dan ukuran sama diberi judul
”Floating Never Too High”.
Ay Tjoe lalu membuka layar gawainya dan menunjukkan jepretan lukisan-lukisannya yang sedang ”terbang” ke London. Litokrayon hitam digunakan Ay Tjoe di atas lembar aluminium, sedangkan di media kanvas ia menggunakan cat minyak bar atau batangan warna hitam.
Lukisan itu sebuah seri sehingga tampak mirip-mirip. Ada repetisi tinggi. Setiap karya abstraknya menyiratkan ketebalan goresan warna hitam yang beraneka. Sesekali goresan itu menipis seperti membentuk tarikan seutas benang hitam. Lalu menggumpal, seperti benang kusut.
”Di situ tidak pernah terlihat di mana awal, di mana akhir,” ujar Ay Tjoe.
Sesekali goresan warna hitamnya menyatu tebal. Ini seperti asap yang bergerak berarak. ”Mereka, warna hitam yang menggumpal dan bergerak, itu sering hadir di dalam hidup saya,” kata Ay Tjoe.
Sebuah visi
Ay Tjoe lalu berkisah tentang warna hitam yang seperti asap menggumpal dan terus bergerak itu. ”Ini bukan halusinasi. Ini sebuah visi,” kata Ay Tjoe.
Ia berpijak dari makna warna hitam tersebut. Warna hitam melesapkan segala warna, menjadi warna paling kuat di antara warna-warna lain. Hitam juga menyiratkan kekelaman yang tidak bisa dibersihkan.
Cerita Ay Tjoe lalu beralih ke soal kekelaman yang membekas di masa kecil dan tak bisa hilang dalam ingatannya. Ia melewatkan masa kecil di gang perkampungan di Kota Bandung. Sebagai warga keturunan China, ia kerap menghadapi cemoohan bernada rasis dari anak-anak tetangganya.
Kekelaman lain juga ada di tengah keluarga. Ketika Ay Tjoe memilih studi seni rupa di ITB, cemoohan justru datang dari ayahnya sendiri. Tidak ada rasa menyesal dalam diri Ay Tjoe atas pilihannya menjadi seorang seniman rupa. Akan tetapi, selisih paham dengan ayahnya tidak surut.
Dalam diri Ay Tjoe juga ada hasrat membongkar tradisi peranakan China yang lebih memberikan keleluasaan bagi laki-laki untuk menentukan jalan hidupnya.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, kalau tidak ada bayangan kelam itu, mungkin ia tidak akan jadi seniman seperti sekarang. Dari sedikit kekelaman hidup yang ia ceritakan itu, Ay Tjoe menyiratkan bahwa kekelaman tersebut telah berubah menjadi kekuatannya.
Seperti pasangan
”Melalui pameran di London nanti saya ingin bicara tentang kualitas hidup. Kita hidup harus tahu apa yang ingin dicapai dan mau melihat kondisi sekarang,” kata Ay Tjoe.
Imbuh Ay Tjoe, kekelaman di masa lalu tidak bisa dihapus. Namun, kekelaman itu harus dikelola. ”Kekelaman itu seperti partner (pasangan) untuk tahu kita mau menuju ke mana,” ujar Ay Tjoe.
Kekelaman seperti warna hitam. Di dalamnya tetap hitam, tidak akan muncul warna lain. Warna hitam juga tidak akan keluar untuk memberikan warna yang lain.
Ay Tjoe lekat dengan warna hitam. Ia pun bercerita lagi tentang visinya. Setiap kali visi itu hadir, mula-mula ia melihat terbukanya layar lebar berwarna putih bersih. Kemudian gumpalan warna hitam itu masuk ke layar putih.
”Putih dan hitam itu selalu bertempur. Dan, saya ingat kadang hitam yang menang,” kata Ay Tjoe. ”Saya bisa bilang, hitam tidak selalu sebagai sesuatu yang tidak baik. Tetapi, saya ingin bilang, hitam itu kuat!”
Setelah itu, Ay Tjoe segera beralih cerita. Kali ini tentang hidup yang selalu bergerak naik. Bergerak hingga titik tertentu dan merasakan kualitas hidup yang berubah. Ada senang, ada marah.
”Ketika marah, ada kesempatan untuk meledakkannya. Ketika meledakkan marah, itu ada nikmatnya. Tetapi, kenikmatan ini sesungguhnya berbahaya,” kata Ay Tjoe.
Namun, bagi Ay Tjoe, melukis itu seperti mencerna rasa bahagia. Rasa bahagia yang akhirnya menjalar ke berbagai hal lain.
Begitulah Ay Tjoe. Ia sudah meraih kekuatannya untuk lebih terbuka, bercerita, dan mengekspresikan kisah yang menarik dari kedalaman jiwanya.
Christine Ay Tjoe
Lahir: Bandung, 27 September 1973
Pendidikan: Jurusan Seni Rupa Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB) 1992-1997.
Pengalaman mengikuti pameran, antara lain:
- 2018: berpartisipasi untuk 21st Century Museum of Contemporary Art, Kanazawa, Jepang.
- 2017: pameran bersama di Royal Academy, London, Inggris.
- 2012: pameran di National Taiwan Museum of Fine Arts, Taichung and Singapore Art Museum
- 2011: pameran di Fondazione Claudio Buziol, Venice, Italia, dan Saatchi Gallery, London, Inggris.
- 2010: pameran di Shanghai Contemporary, China.
- 2009: pameran di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
- 2005: pameran di Johnson Museum of Art, Cornell University, Ithaca, New York, Amerika Serikat.
- 2003: pameran untuk The Beijing International Art Biennale di National Museum of Fine Art, China.