Pertengahan Oktober 2018 lalu, lebih dari 1.300-an orang ikut lomba lari L4RI di Semarang. Walaupun tidak serumit lomba lari di Jakarta, hajatan lari di Kota Semarang itu lumayan rapi dan menyenangkan. Marshal atau pengawal lomba tersedia cukup. Bahkan, seorang rekan nyeletuk, lebih banyak fotografernya daripada peserta.
Pelari cukup nyaman dan aman di lintasan kurang dari 10 kilometer itu. Pengemudi kendaraan roda dua maupun roda empat memberi jalan kepada pelari yang melintas. Tidak ada teriakan klakson atau teriakan kesal meminta pelari cepat berlalu.
Suasana terasa menyenangkan saat pelari melintasi jembatan Kanal Banjir Barat. Di situ terlihat sejumlah warga tua muda berbaju olah raga turun menuju kali itu. Rupanya di bawah situ, terdapat lapangan luas tempat warga menggelar senam di pinggir sungai. Lapangan untuk kegiatan warga itu bagian dari normalisasi Kanal Banjir Barat Semarang dan Sungai Kaligarang.
Semarang tidak sendiri. Kota Bandung beberapa waktu lalu memiliki Teras Cikapundung. Teras ini berupa taman dengan berbagai fasilitas di pinggir Kali Cikapundung yang membelah Kota Kembang di kawasan Babakan Siliwangi. Urang Bandung atau wisatawan yang ke sana pada akhir, pekan sudah menjadikan Teras Cikapundung sebagai tujuan wisata dan melepas lelah.
Teras Bandung dibangun saat Ridwan Kamil menjadi Wali Kota Bandung. Setelah menjadi Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil sempat memublikasikan rencana revitalisasi Kalimalang di Bekasi. Dalam desain awal, tampak bantaran Kalimalang yang dibuat dengan jalan setapak, taman-taman, serta berbagai fasilitas lain.
Suasana pinggiran kali di Semarang maupun Bandung itu mengingatkan orang ke Sungai
di Seoul, Korea Selatan yang terkenal. Aliran air bening mengalir di sungai yang membelah Seoul. Saking beningnya, ikan-ikan yang berenang terlihat jelas. Walaupun dibangun dengan beton, pinggiran kali menjadi lintasan jalan kaki atau lari yang menyenangkan. Di sejumlah titik juga dibangun air terjun, air mancur hingga “delta-delta” buatan untuk berbagai kegiatan. Rumput atau tanaman liar dibiarkan tumbuh alami. Tidak terlihat sampah mengambang, menumpuk di aliran sungai itu.
Cheonggyecheon Stream yang keren itu dibangun dengan kerja keras, konsistensi pemerintah untuk memanusiakan kota dan warganya. Jangan salah, sungai itu awalnya kotor dan kumuh. Warga penghuni pinggiran kali menjadikan sungai untuk mandi, cuci, kakus, hingga membuang sampah.
Sementara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak henti-henti mengerjakan program yang dinilai tepat untuk Kali Ciliwung. Setiap Gubernur yang menjabat selalu menjadikan Ciliwung sebagai salah satu program kerjanya. Beragam upaya dengan dana yang tidak sedikit itu ternyata belum menyelesaikan masalah di Ciliwung.
Berbagai proyek di Kali Ciliwung sepertinya dikerjakan tanpa konsistensi hingga tuntas dan membuahkan hasil dengan berbagai alasan, termasuk kepentingan politik dan pencitraan.
Semua pihak seharusnya dilibatkan untuk bekerja sama, termasuk warga yang berada di pinggir kali. Mereka jangan dianggap objek semata. Setiap program kerja, selalu ada pendukung dan penentang. Memang ini tidak mudah.
Saat mulai melakukan normalisasi Sungai Cheonggyecheon, Pemerintah Kota Seoul berdialog dengan warga hingga 500 kali dengan berbagai kemufakatan agar proyek itu tuntas. Pada akhirnya menjadi “emas” seperti kini dirasakan.
Musim hujan sudah mulai tiba. Langit mendung menggelap dan dilanjutkan dengan turun hujan sudah terjadi beberapa hari terakhir di Ibu Kota. Bagi sebagian warga Jakarta, datangnya musim hujan adalah datangnya pula musim banjir.
Begitu juga, terkait Ciliwung kembali diungkit-ungkit dengan berbagai rencana. Banjir terus mengancam. Sementara kita masih lanjut berdiskusi : normalisasi, betonisasi, hingga naturalisasi.