JAKARTA, KOMPAS — Persoalan bangsa dan tantangan global diikuti perkembangan teknologi membutuhkan jalan keluar. Dengan tetap berpegang pada Pancasila yang memuat nilai-nilai luhur dan universal, perubahan secara menyeluruh sudah saatnya dilakukan untuk mengukuhkan eksistensi identitas Indonesia sebagai bangsa yang nyata dan mampu bersaing.
Masalah kebudayaan, geger politik identitas, diskriminasi SARA, hingga korupsi dan kemiskinan yang masih membelit dapat diselesaikan dengan meneguhkan identitas keindonesiaan yang berpijak pada Pancasila sebagai landasan.
”Sehingga tidak dipandang sekadar kerumunan saja, melainkan suatu bangsa yang riil, bukan imajinasi,” kata budayawan Radhar Panca Dahana seusai sidang tim perumus dalam Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia (MBI) III 2018, di Jakarta, Sabtu (24/11/2018).
Temu Akbar MBI III merupakan acara puncak dari rangkaian diskusi yang digelar MBI sejak September 2018. MBI bekerja sama dengan harian Kompas, Media Indonesia, Gatra, Universitas Indonesia, dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Acara berlangsung hingga 25 November 2018.
Sejumlah tokoh, sastrawan, dan budayawan menghadiri acara ini. Mereka antara lain Meutia Hatta, Sri-Edi Swasono, Anhar Gonggong, Putu Wijaya, Acil Bimbo, Hawe Setiawan, dan Jean Couteau. Para peserta dibagi dalam lima komisi, yakni kebudayaan, kebangsaan, ideologi, konstitusi, dan kenegaraan.
Selanjutnya, tiap komisi melakukan pembahasan yang dituangkan dalam sebuah rekomendasi untuk dirumuskan sebagai pemufakatan bersama nantinya. Adapun delapan orang peserta ditunjuk sebagai tim perumus, yakni Abdullah Sumrahadi, M Amin Abdullah, Maria Hartiningsih, Marko Mahin, M Jadul Maula, Refly Harun, Saifur Rohman, dan Suhadi Sendjaja.
Dari lima komisi tersebut, semua sepakat, berpegang pada Pancasila sebagai ideologi dinilai cara yang ampuh mengatasi problem kenegaraan dan kebangsaan. Bahkan, komisi ideologi menegaskan, Pancasila merupakan suatu produk bangsa yang sudah selesai sehingga tidak dapat diubah lagi dan harus menjadi pijakan bersama. Hanya pengejawantahannya dalam perilaku kehidupan sehari-hari membutuhkan pendidikan yang mampu menginternalisasi nilai-nilai Pancasila tersebut.
”Multitafsir secara positif akan membuat Pancasila menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dari seluruh rakyat Indonesia. Selama ini, ideologi negara hanya ditafsirkan melalui satu pihak, yaitu negara. Akibatnya, nilai-nilai yang terkandung jauh dari praktik hidup masyarakat dan hanya menjadi jargon, slogan, atau yel-yel,” kata Ketua Sidang Komisi Ideologi MBI Marko Mahin.
Begitu pula dengan komisi konstitusi. Refly, yang merupakan perwakilan dari komisi konstitusi, menyampaikan, Pancasila menjadi sumber hukum tertinggi dan menjadi landasan untuk membentuk konstruksi hukum.
”Dengan demikian, upaya untuk membenahi konstitusi dengan merumuskan konstitusi modern yang memuat hal-hal baru yang belum tercantum dalam UUD 1945 dan amendemennya perlu tetap berpegang pada Pancasila,” ujar Refly.
Sementara itu, komisi kebudayaan bermufakat, lahirnya identitas keindonesiaan membutuhkan pranata baru yang tetap berpegang pada Pancasila. Komisi kebangsaan pun mendorong identitas bangsa Indonesia harus inklusif, bergotong royong, dan menghargai kebinekaan sesuai dengan Pancasila. Keberadaan minoritas harus diakomodasi dalam konstruksi kebangsaan saat ini sehingga perlu dirumuskan ulang nilai-nilai utama kebangsaan yang tidak diskriminatif, peka jender, berorientasi pada kemajuan, dan adil bagi setiap generasi.
Sementara komisi kenegaraan menilai sistem politik dan hukum harus dikembalikan ke jalur yang tepat dengan mengacu pada Pancasila. Berpijak pada ideologi yang mampu menegaskan identitas keindonesiaan ini, sistem pemerintah yang ideal dapat tercapai.
”Perubahan itu harus. Tidak hanya dari rumusan kebudayaan, konstitusi, pemerintah, semuanya harus berubah. Akan tetapi, harus tetap mengacu pada kesepakatan tertinggi itu. Jadi, bebas berbisnis, berpolitik, melakukan apa saja selama tetap mengacu pada kesepakatan. Kalau tidak sesuai, silakan keluar dari bangsa ini,” ujar Radhar.