Apa Kabar Satwa Lindung di Riau?
Ada kabar baik sekaligus kabar buruk terkait satwa liar dan dilindungi di hutan Riau dalam beberapa tahun terakhir. Kabar baiknya, kasus kematian gajah (Elephas maximus sumatranus) semakin berkurang.
Ketua Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Riau, Yuliantoni mengungkapkan, tahun 2014 adalah puncak kematian satwa raksasa darat itu di Riau. Setidaknya ditemukan 18 ekor gajah mati.
Setahun kemudian, pada 2015 jumlah kematian berkurang menjadi tujuh, kemudian menurun lagi pada 2016 menjadi dua. Tahun 2017 kematian gajah menjadi nol.
“Sebagian besar gajah itu mati akibat dibunuh manusia, karena alih fungsi hutan secara legal maupun ilegal, menjadi kebun kelapa sawit. Sebagian kecil karena alasan ekonomi, untuk diambil gadingnya. Hanya satu gajah yang kami temukan mati pada 2018 secara alamiah, karena sudah tua," kata Yuliantoni dalam diskusi lingkungan yang berlangsung di Pekanbaru, Senin (26/11/2018) petang. Secara umum, lanjut Yuli, penyidikan kasus kematian gajah sudah bertambah meski banyak kasus yang tidak diusut.
Kabar baik juga disampaikan Osmantri Abeng, dari World Wildlife Fund (WWF) Riau. Ia mengatakan, kecenderungan kematian harimau sumatera (Phantera tigris sumatrae) juga semakin rendah dari tahun ke tahun. Pada era 1995-2000, kematian harimau mencapai 12 ekor per tahun. Namun kemudian berkurang menjadi tujuh ekor per tahun di kurun 2005-2010.
“Sekarang ini kematian harimau masih ada, berkisar tiga ekor per tahun. Trend baik ini tidak terlepas dari upaya patroli rutin di Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Bahkan dari pengamatan kami bersama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam, jumlah populasi satwa harimau meningkat,” kata Abeng.
Kabar baiknya lagi, tambah Yuliantoni, penegak hukum di Riau, sudah mau bekerja keras menangkap dan menghukum beberapa pelaku pembunuhan satwa liar dan dilindungi. Pada tahun 2017, terdapat 28 orang tersangka terkait pembunuhan dan perdagangan bagian tubuh satwa. Sayangnya, baru 10 orang yang mendapat hukuman.
Baiknya lagi, sudah muncul hakim yang mau menjatuhkan hukuman cukup tinggi terhadap pelaku kejahatan satwa dilindungi. Misalnya, Muzainul Ahyar (51) dan Joko Sujarwanto (35), dua pelaku perdagangan kulit, tengkorak dan belulang harimau Sumatera, divonis empat tahun penjara dan denda Rp 100 juta oleh hakim dari Pengadilan Negeri Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Putusan itu bahkan lebih berat satu tahun dari tuntutan jaksa.
Minimalis
Namun menurut Suryadi dari Senarai, lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan dan antikorupsi Riau, kasus-kasus hukum perdagangan satwa dilindungi itu bersifat kontradiktif. Di satu sisi, hakim tidak ragu menghukum terdakwa pelaku. Hanya saja, bentuk putusan hakim relatif rendah dan acapkali mengusik rasa keadilan publik.
Sebut saja kasus pembunuhan gajah untuk diambil gadingnya yang melibatkan enam terdakwa di Pengadilan Negeri Bengkalis tahun 2015. Tiga orang pelaku dihukum satu tahun dan dua orang selama 10 bulan. Adapun Fadli Harianto (54) yang dianggap sebagai aktor intelektual karena menyediakan senjata, menerima dan memperdagangkan hasil buruan hanya dihukum satu tahun penjara.
“Mengherankan. Fadli hanya dihukum satu tahun, padahal dia otak pelaku sesungguhnya. Pada kasus sama, di lain lokasi, empat anggota Fadli yang telah dihukum di PN Bengkalis kembali disidangkan di PN Pelalawan. Uniknya, Fadli yang juga menyediakan dana operasional dan memberikan senjata, hanya dijadikan sebagai saksi. Pada saat persidangan, jaksa bahkan tidak mampu mendatangkan Fadli ke persidangan. Padahal hakim sudah menyetujui upaya paksa,” kata Suryadi.
Kasus terbaru, pada 2018, seorang mantan anggota polisi Ali Hanafiah dihukum penjara dua tahun dalam kasus penjualan trenggiling dalam jumlah besar dan rutin ke luar negeri. Hanafiah bahkan dituntut dengan tindak pidana pencucian uang.
Ali bekerja dalam kelompok. Trenggiling dikumpulkan oleh adik Ali Hanafiah, Ali Muhammad dari pengepul dari Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Trenggiling kemudian dijual kepada pedagang asal Malaysia bernama Liem lewat perantara bernama Widarto, warga Batam.
Dalam persidangan terungkap, nilai penjualan trenggiling pada tahun 2017 yang disamarkan dan disimpan dalam rekening kerabat Hanafiah, mencapai Rp 7,1 miliar. Padahal, Hanafiah mengakui sudah memulai bisnis trenggiling sejak tahun 2006. Betapa besarnya nilai bisnis trenggiling itu. Untuk menjalankan bisnis ilegalnya, Hanafiah memiliki jaringan dan pembeking oknum penegak hukum yang belum disentuh.
Menurut Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jakalahari), Made Ali, kasus trenggiling yang menjerat Ali Hanafiah adalah potret aparat hukum yang merasa puas dengan kerja minimalis. Seakan sudah ada pemahaman bersama sesama aparat, yang terpenting adalah menghukum pelaku yang dihadapkan ke pengadilan saja.
“Bukti dan saksi di persidangan mengungkap fakta banyak orang yang terlibat, pembeking dan pemodal. Namun mereka tidak dikejar. Untuk tindak pidana pencucian uang, sangat dimungkinkan aparat hukum meminta bantuan interpol untuk menangkap Liem asal Malaysia yang disebut sebagai pengepul besar. Bukan itu saja, Widarto yang memiliki peran dalam perdagangan trenggiling bahkan tidak mampu dihadirkan ke persidangan,” kata Made.
Dengan upaya yang minimalis itu, kata Made, kasus perdagangan satwa di Riau, Sumatera atau Indonesia dipastikan masih akan berulang di masa mendatang. Tidak ada pula garansi para pemain yang sudah bebas karena dihukum ringan, bakal jera dan berhenti melakukan pekerjaan ilegal masa lalunya.
Korban manusia
Kabar buruk lainnya, menurut Made Ali, korban kematian manusia akibat serangan harimau justru meningkat. Pada awal 2018, harimau betina yang diberi nama Bonita membunuh dua orang manusia di Kecamatan Pelangiran, Indragiri Hilir. Sebaliknya, seekor harimau betina yang lagi bunting tewas akibat terjerat kabel jeratan babi, di ekosistem Bukit Rimbang Baling, Kuantan Singingi, pada akhir September 2018.
Pada awal Januari 2018, Jumiati (33) pekerja sensus kelapa sawit PT Tabung Haji Indo Plantation di Pelangiran, tewas diterkam Bonita. Tiga bulan kemudian, Yusri Efendi (34) seorang pekerja bangunan juga tewas diterkam harimau yang sama dan tidak jauh dari lokasi pemangsaan awal. Harimau itu tidak takut dengan manusia. Ia sering menampakkan diri di dekat pemukiman atau di jalan dalam kebun kelapa sawit.
Kasus harimau Bonita menarik banyak perhatian, karena perilakunya yang dianggap menyimpang dari sifat-sifat harimau lainnya. Untungnya pada bulan April 2018, Bonita berhasil ditembak bius oleh petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau dan dievakuasi ke Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.
Belum lagi hilang ingatan terhadap kasus Bonita, pertengahan November 2018, seekor harimau jantan diperkirakan berusia tiga tahun masuk ke sebuah pasar di Kecamatan Pulau Burung, Indragiri Hilir. Harimau yang kemudian diberi nama Atan Bintang itu bersembunyi di sebuah sela diantara ruko di Pasar Pulau Burung yang cukup ramai. Untungnya, harimau seberat 80 kilogram inipun dapat dievakuasi ke Dharmasraya.
Atan dan Bonita, menurut Kepala Bidang I BBKSDA Riau, Mulyo Hutomo adalah dua harimau yang berasal dari ekosistem Kerumutan. Kedua harimau itu terjebak di pemukiman dan perkebunan manusia dan hanya dapat berputar-putar dalam labirin hutan yang hilang di Pelangiran dan Pulau Burung. Si belang tidak dapat pulang ke habitat aslinya di Kerumutan yang sudah diputus oleh perkebunan dan pemukiman warga.
Pertanggungjawaban Amdal
Dari kacamata Made Ali, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sesungguhnya bertindak setengah hati dalam menangani kasus harimau Bonita dan Atan Bintang. Pemerintah tidak mengawasi perkembangan lingkungan setelah memberi izin sebagian ekosistem Kerumutan, untuk dijadikan 15 hutan tanaman industri dan tujuh perkebunan kelapa sawit disana.
Separuh lanskap ekosistem Kerumutan kini sudah menjadi hutan monokultur dan kebun kelapa sawit secara legal. Tidak pernah ada pertanggungjawaban 22 perusahaan dimaksud yang tidak menjalankan Amdal (Analisis mengenai dampak lingkungan) untuk ikut menjaga hutan yang sudah dialihfungsikan itu.
“Kami belum melihat pemerintah mempertanyakan Amdal perusahaan yang diberi izin konsesi di ekosistem Kerumutan. Di dalam Amdal terdapat klausul bahwa perusahaan harus ikut melakukan konservasi satwa, apalagi satwa langka yang dilindungi. Mengapa pemerintah tidak meminta pertanggungjawaban perusahaan di sana,” kata Made.
Terlepas dari berita baik dan buruk tentang satwa itu, pemerhati lingkungan di Riau sepakat melakukan upaya menyeluruh dan kerjasama berbagai pihak terkait agar kasus kematian atau persingungan satwa langka dengan manusia dapat berkurang.
Secara hukum, WWF Riau, Yayasan TNTN, Jikalahari dan Senarai meminta pemerintah melakukan revisi UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. UU itu dinilai tidak lagi relevan dan memiliki banyak kelemahan. Kelemahan terutama terlihat dari minimnya keterwakilan ekosistem kawasan konservasi sampai sanksi pidana yang diyakini tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku.
Jika pemerintah menyetujui revisi undang-undang itu, apakah konflik satwa dengan manusia akan berkurang? Rasa-rasanya tidak. Lihatlah nanti.