Bersetia dengan Mainan Tradisional
Di Jakarta, mainan tradisional sudah jarang dimainkan oleh anak-anak. Toh aneka permainan sudah tersedia di gawai. Namun, fenomena itu tidak menyurutkan Hidayat (45) untuk terus berjualan mainan tradisionalnya di Jalan Ulujami Raya No 12, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Dengan penghasilan yang pas-pasan, dia istikamah menunggu pembeli datang.
Kedai itu bernama “Ceria Anak”. Sejumlah mainan lawas, berupa miniatur bus dan mobil-mobilan yang terbuat dari kayu, dipajang di tempat itu. Ada juga ondel-ondel dan kuda lumping.
Kunjungan Kompas pada Selasa (27/11/2018) sore ke tempat itu mencerminkan kedai ini jauh dari kesan ceria. Mobil-mobilan yang dibungkus dengan plastik sudah berdebu. Sementara mesin kompresor yang digunakan Hidayat untuk mengecat mobil tersebut tersuruk dan tertimbun oleh kayu-kayu material di kedai bagian belakang, tempat ia membuat karya.
“Itu kompresor yang saya bawa dari kampung, di Kudus, Jawa Tengah,” kata Hidayat sembari menyantap kacang rebus.
Hidayat mengakui, penjualan mainan mobil-mobilan dan miniatur bus tak menentu. Biasanya, kata dia, pembeli berasal dari komunitas penghobi mainan kayu.
“Jarang sih, tapi kalau lagi ramai, bisa ada empat miniatur bus yang dipesan dalam sebulan,” lanjutnya.
Untuk miniatur bus skala 1:50 atau panjang 25 sentimeter ia patok Rp 300.000. Sementara bus dengan skala 1:20 atau panjang 70 sentimeter ia hargai Rp 1,2 juta.
“Orang sekarang itu aneh. Memang sudah ada miniatur impor dan mainan modern, tapi ada saja yang mencari yang berbahan kayu,” kata ayah satu anak ini.
Agar dagangan lebih bervariasi, ia menampung sejumlah karya seni dari berbagai daerah di tokonya. Kursi goyang, tempat tidur bayi, dan kerajinan lain berbahan rotan ia pesan dari Cirebon. Sementara hiasan rumah berupa klenengan yang terbuat dari bambu ia pesan dari pengrajin Yogyakarta.
Sistemnya, untuk barang yang menurutnya laris, dia bayar langsung kepada pengrajin. Sementara kerajinan yang belum pasti akan terjual, dibayar ke pengrajin setelah barang tersebut laku.
Hidayat sudah tujuh tahun berjualan mainan tradisional. Selain di Jalan Ulujami Raya, dia juga punya toko lain di Pondok Aren Tangerang Selatan. Toko itu dijaga oleh istrinya, Sri Haryani (44).
Dalam sebulan, omzet kedua toko tersebut berkisar Rp 8 juta. Jika yang banyak terjual barang bikinan sendiri, untungnya separuh dari omzet. Namun, jika yang banyak laku barang titipan, untungnya bisa lebih kurang dari itu.
Bagi pria asal Kudus ini, usaha yang digeluti selama tujuh tahun tidak sekadar berjualan. Akan tetapi juga bagian dari hobi. Dia nyaman dengan usaha ini. Di samping itu, ini adalah upaya dia untuk melestarikan mainan tradisional.
“Saya tetap akan menjual mainan tradisional, kecuali kalau benar-benar bangkrut, mudah-mudahan itu tidak terjadi,” harapnya.
Hidayat tertarik terhadap dunia seni sejak menginjak bangku sekolah dasar. Kala itu, dia belajar melukis secara otodidak. Memasuki masa SMA, keterampilan otodidak itu mulai membuahkan hasil. dia sering dipanggil untuk menggambar truk-truk di Kudus dengan teknik airbrush.
Yakin dengan keterampilan yang dimiliki, dia tinggalkan bangku SMA dan hijrah ke Jakarta. Di Jakarta, dia belajar di dua bengkel cat mobil yang ada di Pejaten dan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
“Waktu itu, targetku hanya satu: jadi tukang cat. Tukang hanya diakui ketika hasil kerjanya bagus dan disukai konsumen,” katanya.
Tiga tahun kemudian, ia kembali ke Kudus dan membuka bengkel cat sendiri. Usaha itu berjalan lancar, punya karyawan hingga 10 orang.
Pada tahun 2000, ia menikah dengan istrinya dan menetap hingga 2003 di Kudus. Lalu, ia dan istri pindah lagi ke Jakarta.
“Istriku orang Betawi. Dia satu-satunya anak perempuan. Orangtuanya tidak bisa jauh-jauh dari dia,” lanjut Hidayat.
Di Jakarta, dia memulai lagi dari awal. Hingga tahun 2010, dia menjadi pekerja lepas. Dia pernah ditawari temannya untuk mengisi bazar di salah satu hotel di Jakarta Pusat. Pengunjung yang datang, rata-rata berasal dari karyawan hotel yang ingin motornya dihiasi dengan airbrush.
“Peserta bazar lain membawa produk jualan. Aku cuma bawa kompresor dan buku desain gambar untuk cat airbrush,” katanya.
Namun, bazar tersebut tidak selalu ada setiap bulan. Dia pun bereksperimen membuat mainan kayu tradisional. Rangka mobil dibuat dari kayu dan tripleks, sementara badan mobil disemprot dengan cat duco. Sebelum memiliki toko, dia pernah menjajakan mainan kayu itu di Ragunan.
“Bertahan hidup itu ya bisa dengan apa saja. Yang penting, bisa membiayai kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak,” lanjutnya.
Dia sadar, hasil dari jualan mainan tradisional tidak selalu mencukupi. Oleh sebab itu, dia menyambi dengan jual-beli mobil bekas.
Sebuah Daihatsu Zebra Espass tahun 1995 diparkir di depan toko Hidayat yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya. Mobil itu minggu lalu ia beli Rp 18 juta. “Berhubung masih ada ingatan pernah bekerja di bengkel, mobil itu aku bersihkan, sekarang dijual Rp 22 juta,” kata dia.
Di samping itu, dia sering diundang oleh sekolah swasta di Jakarta Selatan untuk mengajarkan siswa melukis. Bulan lalu, dia mengajarkan anak-anak Lycée Français de Jakarta melukis ondel-ondel. Dalam sehari kegiatan, dia diberi honor Rp 500 ribu.
Hidayat menyiasati hidup sembari tetap bertahan dengan mainan tradisional. (INSAN ALFAJRI)