Ketersediaan Air Bersih Masih Jadi Kendala Hunian Sementara
PALU, KOMPAS — Penyediaan air bersih di hunian sementara masih menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh masyarakat terdampak gempa, tsunami, dan likuefaksi Sulawesi Tengah. Sebagian warga masih harus mencari air secara mandiri, tiga bulan pasca terjadinya bencana alam itu.
Sarjan (64), warga Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, Palu, mengatakan, penyediaan air bersih masih belum sepenuhnya memadai di kompleks Integrated Community Shelter (hunian sementara komunitas terpadu) di kelurahan tersebut. Air bersih yang tersedia setiap hari, tidak mencukupi seluruh 96 kepala keluarga yang menempati kompleks huntara tersebut.
”Kami harus berjalan ke mata air yang jauhnya sekitar satu kilometer untuk mendapatkan air bersih,” kata Sarjan saat ditemui di unit huntaranya pada Selasa (27/11/2018) sore.
Hal tersebut dibenarkan oleh Irsan, Kepala Posko Hunian Sementara Terintegrasi Kelurahan Duyu, Palu. Ia mengatakan, penyediaan air bersih di kompleks hunian sementara yang dibangun oleh lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT) tersebut masih belum memadai. Setiap hari, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setempat hanya memberikan jatah satu tangki air bersih berkapasitas 4.000 liter.
”Mungkin seharusnya dua tangki 4.000 liter setiap hari. Jadi kami di sini harus cari sumber air secara mandiri,” kata Irsan. Sumur bor yang direncanakan menjadi sumber air untuk kompleks huntara ini hingga kini belum berhasil mengeluarkan air.
Meski demikian, kebutuhan dasar di kompleks huntara tersebut mulai terpenuhi. Listrik telah dipasang di kompleks yang berisi 96 unit huntara tersebut. Irsan mengatakan, setiap blok yang terdiri dari 16 unit huntara akan dialiri listrik sebesar 2.200 VA.
Direktur Partnership ACT Mukti Imran mengatakan, pihaknya menargetkan untuk membangun sebanyak 1.000 unit huntara untuk masyarakat terdampak di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah.
ICS Kelurahan Duyu adalah salah satu dari lima kompleks huntara ICS yang telah dibangun oleh ACT. Hunian sementara yang dibangun oleh ACT berukuran lebar 3 meter dengan panjang 4,75 meter. Huntara ini dibangun dengan material triplek dan beratap seng.
Di kompleks huntara ICS Kelurahan Duyu ini memiliki masjid, ruang sekretariat dan kesehatan, dapur umum dan gudang, serta fasilitas MCK sebanyak 20 unit.
Irsan mengatakan, kompleks huntara ICS Kelurahan Duyu akan ditinggali selama dua tahun, sembil menunggu proses rekonstruksi dan rehabilitasi oleh masyarakat dan pemerintah.
Pembangunan kompleks huntara ICS Kelurahan Duyu dan enam kompleks lainnya merupakan hasil donasi yang dikelola oleh ACT. Salah satu donatur ACT adalah perusahaan multinasional PT Unilever Indonesia Tbk.
Sekretaris Perusahaan Unilever Indonesia Sancoyo Antarikso mengatakan, pihaknya memberikan donasi sebesar Rp 15 miliar kepada korban bencana Lombok, Palu, Sigi, dan Donggala kepada ACT dan mitra lainnya.
Bantuan yang akan diberikan kepada masyarakat akan disalurkan dalam beberapa bentuk, seperti produk-produk Unilever selama satu tahun, bantuan finansial untuk perbaikan rumah-rumah dan fasilitas umum, serta barang kebutuhan lainnya.
Peresmian kompleks huntara ICS Kelurahan Duyu ini juga dihadiri oleh Presiden Direktur Unilever Indonesia Hemant Bakshi.
”Kejadian yang menimpa Palu dan Donggala beberapa saat yang lalu tentunya masih sangat melekat di benak kita semua. Sebagai bagian dari masyarakat lndonesia. Unilever Indonesia berkomitmen membantu Palu dan Donggala untuk kembali Bangkit dengan memberikan bantuan kemanusiaan yang hari ini kami serahkan melalui mitra kami Aksi Cepat Tanggap,” kata Hemant.
Belum jelas
Sedangkan warga yang tidak mendapat huntara, masih tinggal di bawah tenda-tenda darurat yang berlokasi di sekitar kompleks huntara. Rumah mereka tergolong rusak ringan, sehingga tidak diprioritaskan untuk mendapat unit huntara.
Meski rumah mereka rusak ringan, sebagian besar masih belum berani untuk menempati kembali rumah mereka. Fitriana (33), warga Kelurahan Duyu, mengatakan, ia beserta suami dan ketiga anaknya masih belum berani menempati rumah mereka, meski gempa hanya mengakibatkan lantai rumah menjadi retak. Pasalnya, gempa bumi—meski berskala kecil—masih kerap terjadi.
”Selama tiga bulan sejak musibah kami belum berani tidur di rumah. Masih terbayang-bayang apabila ada gempa bisa runtuh,” kata Fitriana.
Selain Fitriana dan keluarganya, masih ada sekitar 30 kepala keluarga yang menempati tenda di sekitar kompleks huntara ICS Kelurahan Duyu. Padahal, Fitriana mengatakan, hujan yang sudah mulai turun beberapa kali mengakibatkan tenda yang ditempatinya terkena banjir. ”Saya masih belum tahu bagaimana kelak kalau sudah mulai sering hujan, belum terpikirkan (solusinya),” kata Fitriana.
Hingga kini, uang bantuan rekonstruksi rumah dari pemerintah masih belum jelas kapan akan diterima oleh warga. Irsan mengatakan, warganya telah mengisi berbagai formulir. Irsan mengatakan, ia belum mendapat info apakah masyarakat akan dibuatkan rekening untuk penyaluran dana bantuan tersebut.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, dalam kunjungannya pada 12 November 2018 lalu, warga yang rumahnya rusak berat akan dapat bantuan Rp 50 juta, rusak sedang Rp 25 juta, dan rusak ringan menerima Rp 10 juta.
Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, ada 125.579 warga Palu, Sigi, dan Donggala masih tinggal di pengungsian akibat gempa, tsunami, dan likuefaksi pada 28 September 2018.
Data itu dikeluarkan Pemprov Sulteng yang merupakan kondisi hingga Jumat (9/11/2018). Pengungsi tersebar di 301 lokasi di Palu (151 pengungsian), Sigi (98 pengungsian), dan Donggala (52 pengungsian). Pengungsi terbanyak ada di Sigi, yakni 46.287 jiwa. Di Palu, ibu kota Sulteng, 42.666 jiwa mengungsi, sedangkan di Donggala 36.086 jiwa mengungsi.
Bencana itu mengakibatkan 79.927 rumah rusak. Itu terdiri dari 30.001 rusak berat/hilang, 20.669 rusak sedang, dan 29.257 rusak ringan (Kompas, 12/11/2018).