Komitmen untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru Masih Kurang
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU / Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Guru dituntut profesional agar melahirkan lulusan yang berkualitas dan kompeten sesuai tuntutan zaman. Namun, komitmen pada peningkatan profesionalisme guru masih kurang.
JAKARTA, KOMPAS - Profesionalisme guru yang dicanangkan pemerintah harus berdampak pada hasil belajar siswa di sekolah, di sisi akademik dan nonakademik. Untuk itu, guru semestinya dimampukan dalam memenuhi kompetensi dan keahlian inti sebagai seorang pendidik sesuai perkembangan zaman. Selain itu guru juga harus didorong untuk memperkuat profesi guru, serta memperkuat panggilan jiwa sebagai pejuang pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, komitmen pada peningkatan profesionalisme guru hingga saat ini dinilai belum menggembirakan. Padahal, indikator pada mutu pendidikan yang diletakkan pada guru, utamanya diukur dari meningkatkan pendidikan guru minimal diploma empat/S1 dan bersertifikat pendidik, nyatanya belum berbuah baik pada kualitas hasil belajar sesuai tuntutan abad XXI dan pembentukan karakter generasi penerus bangsa.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Supriano, usai upacara Hari Guru Nasional 2018 di Jakarta, Senin (18/11/2018), mengatakan profesionalisme guru dikuatkan, khususnya berkait dengan kemampuan meningkatkan proses pembelajaran yang memampukan siswa untuk memiliki keterampilan berpikir kritis, kreatif, inovatif, komunikatif, dan berkolaborasi.
"Kunci peningkatan mutu itu terlihat di proses pembelajaran. Hal tersebut tentu tidak akan dapat diwujudkan jika para guru berhenti belajar dan mengembangkan diri. Mulai tahun 2019, pemerintah akan lebih fokus dalam memperkuat kualitas guru berbasis zonasi," ujar Supriano.
Sistem pelatihan
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Heru Purnomo mengatakan sistem pelatihan dan pengembangan karir guru untuk mendukung pendidikan berkualitas belum terbangun dengan baik. Dukungan pengembangan diri para guru tidak merata dan lebih disibukkan dengan urusan administratif.
Sistem pelatihan dan pengembangan karir guru untuk mendukung pendidikan berkualitas belum terbangun dengan baik.
"Kami meminta pemerintah membenahi pelatihan guru yang selama ini belum membuahkan hasil pada perubahan pembelajaran yang diterapkan guru di kelas. Pelatihan guru seharusnya memenuhi unsur berkualitas, berbobot, bermanfaat atau relevan dengan kebutuhan guru di sekolah, berkelanjutan, dan evaluatif dengan adanya evaluasi/penilaian yang berkelanjutan," kata Heru.
Secara terpisah, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Subandi dalam diskusi yang digelar Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, beberapa waktu lalu mengatakan indikator kualitas pendidikan selama ini ditetapkan dari jumlah guru yang S1 dan bersertifikat pendidik. Namun, hasilnya belum berdampak signifikan pada mutu pendidikan, salah satunya dilihat dari Ujian Nasional dan tes internasional siswa PISA.
Menurut Subandi, indikator mutu akan dilihat juga pada hasil belajar siswa. Guru pun didorong untuk menerapkan pembelajaran yang membangkitkan kreativitas, berpikir kritis, analisa, sampai siswa berani berpendapat dan inovatif.
Subandi mengatakan perbaikan pada kualitas guru juga harus diringi dengan upaya membenahi lembaga pendidik tenaga kependidikan (LPTK) yang mutunya beragam. Saat ini, penyaringan calon guru diupayakan lewat pendidikan profesi guru (PPG).
Subandi mengingatkan agar penyiapan calon guru yang dimulai dari rekrutmen mahasiswa baru di LPTK, tidak hanya berbasis tes akademik. "Harus ada pula saringan untuk memilih calon guru yang juga punya \'panggilan jiwa dan kepribadian yang cocok. Karena itu, pemerintah harus memberi rambu-rambu yang tegas dalam pendidikan guru. Jangan karena banyak peminatnya, jadi longgar," ujar Subandi.
Pemerintah harus memberi rambu-rambu yang tegas dalam pendidikan guru. Jangan karena banyak peminatnya, jadi longgar.
Menjadi guru memang idealnya panggilan jiwa. Dellavani (39), guru biola SMKN 8 Surakarta, misalnya, menekuni biola dengan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta untuk profesi sebagai pendidik. "Karena ini panggilan jiwa, saya bertekad memberikan yang terbaik untuk siswa," katanya.
Pengalamannya, para siswa umumnya masih nol dalam menguasai alat musik. Di sinilah peran guru untuk membantu siswa memberi keterampilan bermain alat musik dan menyuntikkan semangat jika siswa bisa berhasil dengan disiplin dan komitmen
"Di SMK, guru produktif harus jadi contoh. Saya memang menekuni biola dengan kuliah di ISI Yogyakarta untuk profesi sebagai pendidik. Karena ini panggilan jiwa, saya bertekad memberikan yang terbaik untuk siswa," kata Dellavani yang juga aktif terlibat dalam berbagai pertunjukan musik.
Siswa umumnya juga berharap para guru menggunakan metode belajar yang banyak menggunakan contoh kasus dan melakukan praktik agar tidak monoton. Guru juga diharapkan kreatif ketika menghadapi keterbatasan.
Seperti disampaikan Putri Utami (14), siswi kelas IX SMPN 6 Tangerang Selatan, Banten. "Memang di beberapa pelajaran ada kekurangan di alat praktik. Misalnya, waktu belajar Biologi tentang sel, sekolah enggak punya mikroskop. Jadi guru cuma bisa menunjukkan gambar di buku teks." katanya.
Menurut Putri, ada materi lain yang sebenarnya bisa dipraktikkan tanpa alat bantu. Contohnya, materi tentang definisi dan jenis-jenis wawancara di pelajaran Bahasa Indonesia. Ia mengaku, guru tidak meminta siswa mempraktikkan mewawancarai orang lain, melainkan meminta mereka untuk mencari contoh-contoh wawancara di internet.