Sebagian Warga Jakarta Nekat Tinggal di Bantaran Kali
Oleh
Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bantaran kali yang rawan bencana memang tidak layak menjadi tempat tinggal. Perlu ketegasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatur perizinan dan mengategorikan lokasi hunian warga.
Catatan Kompas (27/11/2018), Perumahan Pesona Kalisari RT 007 RW 005, Kelurahan Kalisari, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur, pada Senin (26/11/2018) mengalami longsor. Penyebabnya diduga terjadi akibat tanggul tidak kuat menahan volume air saat intensitas hujan tinggi.
”Apabila terjadi hujan terus-menerus, tanah di bantaran kali semakin tergerus. Inilah yang mengakibatkan terjadinya pergeseran tanah atau longsor,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta Jupan Royter S Tampubolon, di Jakarta, Selasa.
Perumahan Pesona Kalisari berada di ketinggian 3-4 meter dari permukaan tanah. Satu rumah yang terdampak longsor berada di ujung jalan perumahan dengan kondisi jalan menurun.
Jupan menyampaikan, warga sebenarnya mengetahui risiko tinggal di daerah bantaran kali. Ketika terjadi getaran, hujan, dan ada beban di atasnya, longsor pasti terjadi.
”Warga ini nekat. Tadi pagi saya melihat rumah yang roboh di kompleks tersebut. Besi untuk membangun rumah begitu kecil. Jelas secara struktural sudah tidak kuat dan memang rumah dibangun tanpa izin mendirikan bangunan,” papar Jupan.
Secara terpisah, ahli perkotaan Yayat Supriyatna mengatakan, bantaran sungai itu merupakan wilayah rawan bencana, tidak layak untuk tempat tinggal. Namun, yang jadi permasalahan, ketika masyarakat tidak punya pilihan lain.
”Maka, pertanyaannya, apakah akan dibangun di situ lagi atau dipindahkan? Kalau dipindahkan, ke mana? Ini harusnya jadi bahan pertimbangan. Sebab, kalau tidak dipertimbangkan dan dibangun lagi di wilayah itu, maka kasus akan berulang kembali,” ujar Yayat.
Lebih lanjut, Yayat menegaskan, Pemprov DKI Jakarta seharusnya bertanggung jawab untuk mencegah pembangunan di wilayah rawan bencana. Kalaupun akan dibangun di wilayah tersebut, persyaratannya harus diperjelas.
”Jangan biarkan masyarakat mengalami kasus yang sama, trauma dua kali. Itu artinya kita membiarkan orang tinggal di wilayah yang rawan bencana,” ujarnya.
Menurut Yayat, aturan pembangunan tempat tinggal telah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Dalam bagian perizinan, diatur bagaimana pemerintah memberi izin pembangunan.
”Secara garis besar, dalam bagian perizinan, ada empat kategori pembangunan, yaitu izin, berarti lokasi sesuai tempat tinggal, keselamatan, serta tidak bertentangan dengan tata ruang dan rawan bencana. Ada pula bersyarat, berarti boleh tinggal, tapi ada syarat yang harus dipenuhi,” tutur Yayat.
Selain itu, ada terbatas, yaitu tidak boleh sembarangan membangun. Kalaupun diizinkan, tidak semua lahan boleh dibangun, terlebih jika menghilangkan ruang terbuka hijau. ”Masyarakat harus menanam pohon, membuat ruang biopori, dan ada struktur bangunan yang kuat,” lanjutnya.
Namun, ada wilayah yang sama sekali tidak boleh dibangun. Kalau ada warga yang tinggal di lokasi itu, sebenarnya pemerintah dapat membeli tanahnya. Lokasi tersebut kemudian dapat dijadikan hutan, taman, atau ruang terbuka hijau.
Berdasarkan data BPBD Provinsi DKI Jakarta, wilayah paling rawan mengalami longsor adalah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Namun, wilayah lain juga tetap ada kemungkinan longsor, terutama wilayah yang berdekatan dengan sungai dan ditambah curah hujan yang tinggi.
”Ketika ada tanah retak, warga harus segera melapor kepada lurah atau camat sehingga bisa diantisipasi dan dilakukan penanganan oleh SKPD (satuan kerja perangkat daerah) teknis. Masyarakat harus lebih waspada dengan lingkungan tempat tinggalnya,” kata Jupan.
Selain itu, Jupan juga mengingatkan masyarakat agar terus memperbarui data yang diberikan BPDB. ”Kami informasikan selalu lewat website, media sosial Instagram dan Twitter, grup Whatsapp yang berisi camat, lurah, hingga warga,” ucapnya.
Jupan juga menyampaikan agar terus terjalin sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan untuk mengatasi persoalan. ”Jangan malah kita saling menuding,” katanya. (SHARON PATRICIA)