TANGERANG SELATAN, KOMPAS - Siswa meminta metode belajar yang banyak menggunakan contoh kasus dan melakukan praktikum agar suasana tidak monoton. Mereka juga menginginkan guru tidak menjadikan teknologi sebagai momok dan lebih melibatkannya di dalam pembelajaran sehari-hari.
"Memang di beberapa pelajaran ada kekurangan di alat praktik. Misalnya, waktu belajar Biologi tentang sel, sekolah enggak punya mikroskop. Jadi guru cuma bisa menunjukkan gambar di buku teks," kata Putri Utami (14), siswi kelas IX SMPN 6 Tangerang Selatan, Banten, ketika ditemui di sekolah pada Senin (26/11/2018).
Akan tetapi, menurut Putri, ada materi lain yang sebenarnya bisa dipraktikkan tanpa alat bantu, hanya guru memutuskan untuk melewatkannya. Contohnya adalah materi tentang definisi dan jenis-jenis wawancara di pelajaran Bahasa Indonesia.
Ia mengaku, guru tidak meminta siswa mempraktikkan mewawancarai orang lain, melainkan meminta mereka untuk mencari sendiri contoh-contoh wawancara di internet. Akibatnya, siswa justru bingung karena ada begitu banyak contoh di internet, sementara guru tidak menjelaskan lebih lanjut.
Rekan Putri, Calista Btari (14), memutuskan untuk mengikuti bimbingan belajar karena tidak mengerti materi yang diajarkan di sekolah. "Kalau guru les menjelaskan mulai dari konsepnya dulu, terus mereka memberi banyak contoh kasus. Kadang-kadang juga memakai berita dari koran dan media daring," tuturnya.
Sementara itu, Sultan Gemma (15), juga siswa kelas IX, mengeluhkan sistem ulangan yang monoton. Ia mengungkapkan, guru-guru sudah menerapkan sistem ulangan dengan cara menulis esai, bahkan satu pertanyaan jawabannya bisa mencapai empat lembar kertas. Namun, esai baru seputar menyalin bab di buku teks, bukan meminta pendapat dan pemahaman siswa.
"Misalnya, soal menyuruh siswa menyebutkan unsur-unsur pemerintahan beserta definisi dan fungsinya. Semua itu sudah ada di buku pelajaran, kenapa kami harus menyalin lagi? Kenapa tidak membahas tentang cara pemerintahan diterapkan sekarang?" ucapnya.
Manfaatkan teknologi
Siswa kelas X SMA Sang Timur, Yogyakarta, Bernadus Frederik Saragih berpendapat, di SMA proses belajar lebih dinamis dibandingkan daripada di SMP. Guru-guru lebih terbuka dalam berdiskusi dan mereka sering mengajak siswa untuk melakukan pengamatan lapangan sehingga siswa bisa memahami konsep melalui praktikum.
Selain itu, guru-guru SMA juga tidak takut terhadap teknologi seperti gawai elektronik, berbeda dengan guru SMP yang cenderung melarang siswa memakai gawai dengan alasan takut mengganggu konsentrasi siswa belajar. Padahal, menurut Bernadus, gawai bisa dikumpulkan di depan kelas dan baru digunakan apabila siswa harus mencari informasi terkait materi pelajaran di internet.
"Kan bisa siswa diberi izin selama setengah jam mengakses internet dengan hape buat mencari informasi di internet terkait tugas," tuturnya. Informasi yang didapat kemudian dibahas bersama-sama untuk memastikan keakuratannya.
Landasan hukum
Kepala SMPN 6 Tangerang Selatan Alan Suherlan mengakui masih terdapat guru di sekolahnya yang menganut tradisi lama, yaitu guru sebagai pusat pengetahuan dan pembelajaran. Butuh waktu lama bagi mereka untuk mengubah cara mendidik agar menjadi dinamis dan melibatkan siswa di dalam pencarian pengetahuan.
Permasalahannya, kepala sekolah tidak bisa bertindak lebih lanjut selain menegur guru yang kinerjanya dinilai kurang. Hal ini karena aturan penilaian kerja guru hanya dirujuk dari kelengkapan dan linieritas ijazah, memiliki sertifikasi, serta mengajar selama 24 jam setiap pekan. Tidak ada klausul yang mengatakan penilaian kinerja guru berdasarkan metode mengajar dan tingkat serapan ilmu dan keterampilan oleh siswa.
"Kalau ada guru yang kinerjanya kurang, bisa direkomendasikan mengikuti pelatihan. Namun, sepulang dari pelatihan apabila kinerja dia tidak kunjung membaik, kepala sekolah tidak bisa berbuat apa-apa selain memotivasi," kata Alan. Jumlah pelatihan yang diikuti guru ternyata tidak berbanding lurus dengan penambahan mutu pengajaran.