JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berupaya agar jatah saham 10 persen milik daerah pada divestasi PT Freeport Indonesia tidak jatuh ke swasta. Dengan demikian, daerah, yang dalam hal ini adalah Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika, mendapat manfaat yang optimal. Namun, kemampuan keuangan daerah harus menjadi pertimbangan.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno, mengatakan, pemerintah berencana menjadikan PT Indocopper Investama sebagai perusahaan penampung saham yang menjadi hak daerah tersebut. Hanya saja, dalam struktur di Indocopper akan masih ada bagian kepemilikan PT Indonesia Asahan Aluminum (Persero) atau Inalum. Inalum akan memastikan bahwa tidak ada pihak swasta yang menikmati bagian saham milik daerah tersebut.
"Selain tujuannya untuk memastikan daerah mendapat haknya, menjadikan Indocopper sebagai perusahaan penampung saham milik daerah akan lebih efisien. Apabila dibentuk perusahaan baru untuk menampung saham bagian daerah maka akan dikenai pajak akuisisi," kata Fajar, Senin (26/11/2018), di Jakarta.
PT Indocopper Investama, yang sejak 2002, dimiliki penuh Freeport McMoran Inc dan memegang saham 9,36 persen dalam struktur PT Freeport Indonesia. Freeport McMoran Inc adalah perusahaan induk PT Freeport Indonesia. Setelah rangkaian divestasi 51 persen tuntas, Indocopper bakal dimiliki Inalum dan menjadi perseroan khusus yang menampung saham daerah.
Fajar memastikan, Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika tidak perlu mengeluarkan dana sesen pun untuk mendapat bagian saham 10 persen. Akan tetapi, pembagian deviden yang menjadi hak daerah akan dipotong sebagai cicilan pembayaran nilai saham 10 persen tersebut kepada Inalum. Selain itu, tidak semua hasil dividen milik daerah dipakai untuk membayar cicilan tersebut.
Secara terpisah, peneliti pada Auriga, sebuah lembaga non pemerintah di bidang pelestarian sumber daya alam dan lingkungan, Iqbal Damanik, mengatakan, bagian daerah dalam tahapan divestasi saham harus memperhatikan kemampuan keuangan dari daerah yang bersangkutan. Jangan sampai daerah harus mencari utang untuk mendapat hak 10 persen saham tersebut. Situasi kian buruk apabila swasta terlibat dalam pendanaan kepada daerah untuk mendapat hak 10 persen saham.
"Sudah ada beberapa contoh divestasi yang pada akhirnya tidak menguntungkan daerah. Dalam kasus divestasi saham Freeport, sebaiknya daerah mendapat golden share (saham cuma-cuma) karena itu memang benar-benar hak mereka. Kalau pun memang ditalangi Inalum, tentu manfaat yang didapat daerah tidak akan optimal lantaran ada kewajiban mencicil utang lewat pemotongan deviden," ujar Iqbal.
Iqbal menambahkan, sesuai aturan perundangan yang berlaku, daerah termasuk prioritas untuk mendapat bagian saham dalam rangkaian divestasi. Apabila daerah tidak mampu membeli atau menyatakan tidak bersedia, maka prioritas selanjutnya diberikan kepada pihak swasta nasional.
Sebelumnya, pemerintah menargetkan rangkaian proses divestasi saham PT Freeport Indonesia rampung akhir tahun ini. Nilai divestasi yang harus dibayar Inalum untuk mencapai saham sebesar 51 persen adalah 3,85 miliar dollar AS atau sekitar Rp 56 triliun. Pada akhir September lalu di Jakarta, Inalum dan Freeport McMoran telah menandatangani perjanjian jual beli atau sales purchase agreement.
Divestasi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam regulasi tersebut, perusahaan tambang asing harus mendivestasikan sahamnya tidak boleh kurang dari 51 persen kepada peserta Indonesia sejak berproduksi di tahun kesepuluh. Dalam kasus ini, selain wajib mendivestasikan sahamnya, Freeport juga harus membangun smelter untuk pemurnian konsentrat tembaga.