Tunisia melanjutkan proyek demokrasinya dengan menerapkan sistem inklusif, seperti mengangkat menteri dari kalangan minoritas Yahudi.
Setelah tampil menjadi satu-satunya negara Arab yang berhasil membangun sistem dan budaya demokrasi dalam kehidupan politik melalui gerakan musim semi Arab 2011, kini Tunisia secara mengejutkan memberikan kepercayaan kepada warga dari kaum Yahudi, Rene Trabelsi (56), sebagai menteri pariwisata.
Tampilnya Trabelsi di kabinet Perdana Menteri Youssef Chahed itu mengantarkan Tunisia kembali membuktikan sebagai negara Arab modern dan akomodatif terhadap semua warga tanpa melihat latar belakang agama dan ideologi. Negara berpenduduk sekitar 11 juta jiwa itu jadi negara Arab berpenduduk mayoritas Muslim yang menerima dan memiliki menteri dari kelompok minoritas Yahudi.
Trabelsi bukan menteri pertama dari kaum Yahudi di Tunisia. Di bawah pemerintah pertama setelah merdeka dari Perancis, PM Tunisia Habib Bourguiba pada 1956-1957, seorang warga Yahudi Tunisia bernama Andre Barouch ditunjuk sebagai menteri urusan perumahan.
Sejak 1957 itu, baru Trabelsi yang kembali menjadi menteri dari kalangan warga Yahudi di Tunisia. Trabelsi selama ini dikenal sebagai pengusaha sektor transportasi dan pariwisata yang sukses. Ia berhasil membangun jaringan bisnis cukup luas dengan jaringan hotel dan resor di Tunisia, Aljazair, Maroko, dan Perancis.
Trabelsi menggalang dan memimpin kaum Yahudi dari mancanegara mengunjungi sinagoge di Pulau Djerba, Tunisia selatan. Sinagoge itu adalah sinagoge tertua di Afrika dan magnet bagi kaum Yahudi mancanegara.
Dukungan partai Islam
Penunjukan Trabelsi sebagai menteri pariwisata tak terlepas dari keinginan pemerintah Tunisia untuk mendongkrak industri wisata yang sempat merosot pascarevolusi 2011. Pada 2010, jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Tunisia mencapai 7 juta orang, tetapi menurun hingga 4,7 juta orang pascarevolusi 2011.
Trabelsi masuk dalam kabinet PM Chahed, yang diumumkan awal Oktober lalu, dan mendapat dukungan parlemen. Menariknya, kabinet PM Chahed yang di dalamnya terdapat menteri dari warga Yahudi itu mendapat dukungan kuat dari partai Islam, Ennahdha.
Sikap politik Ennahdha terhadap Trabelsi tersebut menunjukkan, gerakan Islam politik di Tunisia menerima warga Yahudi berperan dalam kehidupan politik di negara itu. Selama ini, elite Tunisia dikenal membangun dan memiliki hubungan baik dengan komunitas Yahudi di negara itu.
Pemerintah Tunisia sejak era presiden pertama Tunisia, Habib Bourguiba, dan era Presiden Zine el-Abidine Ben Ali, hingga era pascarevolusi Tunisia 2011 berkomitmen terus menjalin hubungan baik dengan komunitas Yahudi. Kementerian Urusan Agama di Tunisia mengakui pemimpin komunitas Yahudi di Tunisia, Rabbi Chaim Bitan, sebagai pemimpin agama dan selalu mengundangnya pada setiap acara keagamaan. Di acara-acara itu, Bitan duduk berdampingan dengan para ulama dan tokoh agama Islam.
Tunisia juga salah satu negara Arab yang mengizinkan Israel membuka kantor dagang di kota Tunis pascatercapainya Kesepakatan Oslo pada 1993.
Jumlah warga Yahudi di Tunisia kini diperkirakan hanya 5.000 orang setelah pernah mencapai 100.000 jiwa pada era kolonial Perancis. Warga Yahudi di Tunisia dikenal berperan besar di berbagai sektor, yakni ekonomi, budaya, seni, musik, dan kini mulai masuk politik.
Warga Yahudi di Tunisia hijrah besar-besaran ke Eropa dan Israel pascaperang Arab-Israel 1967 dan 1973. Pusat konsentrasi warga Yahudi di Tunisia berada di Tunis dan Pulau Djerba. Politisi terkenal Israel, Silvan Shalom, adalah warga Yahudi asal Tunisia yang hijrah ke Israel. Di Israel, Shalom antara lain menjabat menteri luar negeri (2003-2006), wakil perdana menteri (2009-2013), dan menteri urusan infrastruktur, energi, dan perairan (2013-2015).