Sebanyak 45 rekomendasi UNCAC belum juga diatur dalam regulasi Indonesia untuk mendukung pemberantasan korupsi. DPR minta KPK proaktif ajukan revisi undang-undang.
JAKARTA, KOMPAS - Komitmen serius para pemangku kepentingan dalam penguatan pemberantasan korupsi sangat dibutuhkan. Upaya penegakan hukum pemberantasan korupsi membutuhkan regulasi untuk mengimplementasikan rekomendasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) tahun 2003 yang diratifikasi Indonesia tahun 2006.
Dari 53 rekomendasi UNCAC yang dibuat pada 2010-2018, Indonesia baru menindaklanjuti 8 rekomendasi. Padahal, aplikasi rekomendasi yang tersisa dibutuhkan sebagai landasan penegak hukum menindak koruptor sekaligus aset mereka.
Hal ini mengemuka dalam diskusi publik paparan hasil kajian putaran I dan II UNCAC di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (27/11/2018). Sejumlah undang-undang mendesak dibahas. seperti revisi UU Tindak Pidana Korupsi, RUU Perampasan Aset, RUU Pajak Penghasilan, RUU Pengadaan Barang dan Jasa, RUU Ekstradisi, revisi UU bantuan hukum timbal balik, serta RUU KUHAP.
”Belakangan, niat politik bagus, dukungan ke KPK bagus. Betul, indeks persepsi korupsi naik setiap tahun dan jika dibandingkan dengan saat Orde Baru, ada kenaikan, tetapi perkembangannya lambat sekali. Karena itu, butuh percepatan. Salah satunya dengan mengatur tingkah masyarakat melalui undang-undang. Mendesak untuk merevisi UU Tipikor. Harapan kami juga ada undang-undang untuk pelaku sektor swasta,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
KPK mendorong hal ini untuk membangun transparansi terhadap pemilik manfaat dari perusahaan (beneficial ownership). Beberapa jenis kejahatan juga didorong dimasukkan dalam revisi regulasi tindak pidana korupsi, seperti peningkatan kekayaan secara ilegal (illicit enrichment), suap di sektor swasta, memperdagangkan pengaruh, serta penyuapan pejabat publik asing dan organisasi internasional.
Saat ini, Indonesia baru menindaklanjuti delapan rekomendasi UNCAC, antara lain ketentuan pemberhentian sementara terhadap aparatur sipil negara yang menjadi tersangka korupsi dan pemberhentian tetap saat terbukti bersalah, kajian perbaikan untuk tindak pidana menghalangi penanganan perkara korupsi, penghapusan kewajiban izin presiden bagi penyidik saat menangani perkara korupsi yang melibatkan pejabat tinggi. Kemudian, pengetatan remisi terhadap koruptor, aturan perlindungan terhadap pelapor tindak pidana korupsi dalam RUU LPSK, kajian tentang ekstradisi WNI, kajian kemungkinan penerapan aturan pemberian kompensasi bagi pihak yang dirugikan dari tindak pidana korupsi, serta menjajaki kemungkinan menjadikan KPK sebagai otoritas pusat untuk seluruh kasus korupsi.
”Target Prolegnas kita ini jauh dari harapan. Setiap tahun ada 50 (undang-undang), tetapi hanya selesai 10. Ini yang membuat prioritas melahirkan perundang-undangan terbatas. Tetapi, bisa saja UU Tipikor ini diinisiasi dulu oleh KPK melibatkan seluruh pemangku kepentingan,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly.
Menurut Ketua Komisi III DPR Kahar Muzakir, usulan revisi dari DPR kerap memunculkan resistensi. Untuk itu, KPK diminta proaktif. ”Masih banyak yang belum masuk dalam UU Tipikor. Kalau dianggap perlu direvisi, kami dari DPR sangat mendukung upaya ini,” ujar Kahar.
Pengawasan
Dalam upaya pemerintah memberantas korupsi, kemampuan inspektorat di daerah masih belum sesuai harapan. Sekretaris Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri Sutejo mengatakan, inspektorat di daerah tidak mampu menjalankan tugas memberikan peringatan dini dan juga tidak mampu menilai secara obyektif karena khawatir hasil penilaian mereka tidak diterima pihak yang diperiksa.
”Puncaknya, mereka para personel inspektorat khawatir hasil penilaian yang dibuat secara obyektif justru akan membuat mereka dimutasi,” ujar Sutejo dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Daerah Jawa Tengah di Kabupaten Magelang.