Korupsi, Musuh Dalam Selimut bagi Papua
Wajah mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua berinisial DJM tampak lesu. Tersangka korupsi penyalahgunaan anggaran pembangunan terminal penumpang di Kabupaten Nabire melangkah dengan cepat untuk menghindari belasan jurnalis di ruang pemeriksaan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Papua, Senin (26/11/2018) sore.
DJM, termasuk tiga tersangka lain yang berinisial YY, SR, dan JA, diduga terlibat penyalahgunaan anggaran untuk pembangunan terminal penumpang tipe b tahun anggaran 2016 dengan kerugian negara senilai Rp 1,7 miliar.
Pria asal Toraja, Sulawesi Selatan, ini tak mau memberikan keterangan sedikit pun kepada awak media yang menantinya pada pukul 16.00 WIT. Setelah menjalani pemeriksaan, dia langsung ditahan di Rumah Tahanan Polda Papua. Sebelumnya tiga rekannya telah ditahan di tempat yang sama pada 22 November 2018.
Menurut penyidik, modus korupsi yang dilakukan DJM dan rekan-rekannya adalah pengerjaan sarana infrastruktur yang belum tuntas, sementara dana sebesar Rp 8,2 miliar telah dicairkan 100 persen.
Kasus yang menimpa DJM termasuk 134 kasus korupsi yang ditangani Polda Papua beserta jajarannya di 23 polres dengan wilayah hukum meliputi 28 kabupaten dan 1 kota.
Total kerugian negara dalam kasus-kasus tersebut mencapai Rp 548,1 miliar dengan jumlah keseluruhan tersangka 97 orang. Kerugian negara bersumber dari dana desa dan dana APBD yang terdiri dari pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana otonomi khusus. Total kerugian ini meningkat empat kali lipat apabila dibandingkan dengan tahun 2016 sebesar Rp 90,6 miliar dari 108 perkara.
”Sebanyak 97 tersangka tersebut berasal dari 95 perkara yang telah ditingkatkan statusnya menjadi penyidikan. Adapun sisa kasus lainnya masih berstatus penyelidikan,” ucap Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Ahmad Mustofa Kamal.
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Papua, ke-97 tersangka ini terdiri dari 59 orang aparatur sipil negara (ASN) dan 38 orang dari pihak swasta.
Modus yang digunakan para tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang ditangani Polda Papua antara lain proyek fiktif serta pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai prosedur.
”Sumber anggaran yang menjadi kerugian negara berasal dari APBN dan dana otonomi khusus yang dikucurkan oleh pemerintah pusat,” ujar Ahmad.
Direktur Papua Anti Corruption Investigation Anthon Raharusun berpendapat, penanganan kasus korupsi oleh Polda Papua dan Kejaksaan Tinggi Papua jangan hanya mengedepankan kuantitas, tetapi juga kualitas penanganan. Sebab, banyak kasus yang terkesan tidak ditindaklanjuti hingga tuntas.
Belum berjalan
Anggota DPRD Papua, John Gobay, berpendapat, pembangunan di Papua yang telah melaksanakan kebijakan otonomi khusus selama 17 tahun belum berjalan baik karena faktor mental dan kompetensi sumber daya manusia.
”Banyak pimpinan dinas di kabupaten yang menggunakan dana otsus (otonomi khusus) dengan motif untuk mendapatkan proyek. Tidak ada komitmen dengan dana sebesar itu bisa memprioritaskan sejumlah sektor yang lebih urgen, seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan,” tutur John.
Ia menegaskan, terjadinya penggunaan dana otsus yang tidak sesuai peruntukan bisa berdampak terhadap sejumlah masalah sosial yang selama ini terjadi di Papua. Masalah tersebut misalnya kasus gizi buruk, perekonomian rakyat yang belum berjalan, dan tingginya angka putus sekolah.
”Selama ini, belum ada pengawasan dari Pemprov Papua terkait pelaksanaan kebijakan otsus di 28 kabupaten dan kota. Padahal, dalam Peraturan Daerah Khusus Nomor 25 Tahun 2013, sudah diatur tentang peranan tersebut,” ucap John.
Diketahui bahwa Pemprov Papua mendapat alokasi dana otsus dari pemerintah pusat sejak tahun 2001 hingga saat ini mencapai Rp 68,9 triliun.
Selama ini, belum ada pengawasan dari Pemprov Papua terkait pelaksanaan kebijakan otsus di 28 kabupaten dan kota.
Hingga tahun 2017, indeks pembangunan manusia (IPM) di Papua menempati peringkat ke-34 dengan poin 59,09. Angka ini berada di bawah standar nasional, yakni 70,81. Faktor pembentuk IPM adalah umur panjang dan hidup sehat serta pengetahuan dan hidup layak.
Masalah kesehatan seperti gizi buruk dan minimnya layanan imunisasi masih terjadi di Papua, misalnya kasus campak disertai gizi buruk di Asmat yang menewaskan 72 anak balita. Total terdapat 646 anak terkena campak dan 144 anak menderita gizi buruk di 19 distrik.
Sementara itu, di sektor pendidikan, program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Papua, misalnya, belum berjalan optimal. Rata-rata lama sekolah baru mencapai tujuh tahun, dari tingkat kelas I sekolah dasar (SD) hingga kelas VII sekolah menengah pertama (SMP).
Angka putus sekolah dari SD hingga SMP paling banyak berada di 15 kabupaten di Pegunungan Tengah Papua, misalnya Lanny Jaya, Tolikara, Yalimo, Jayawijaya, Puncak, dan Puncak Jaya.
Kondisi tersebut juga menyebabkan masalah buta aksara di Papua masih tinggi. Data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua, angka buta huruf di Papua mencapai 24 persen atau sekitar 600.000 warga belum dapat membaca dan menulis.
Masih rendah
Koordinator Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Provinsi Papua Maruli Tua memaparkan, program aksi pencegahan korupsi di 28 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Papua sejak tahun 2016 hingga kini belum berjalan optimal.
Persentase program aksi pencegahan korupsi di Papua hanya mencapai 20 persen. Indikator penilaian KPK meliputi penggunaan aplikasi e-government, penguatan kapasitas inspektorat dan aparatur sipil negara, serta optimalisasi pendapatan daerah seperti pajak.
E-government merupakan aplikasi yang terdiri atas tiga sistem, yakni perencanaan dan penganggaran, perizinan investasi, serta pendapatan daerah. ”Papua termasuk tiga provinsi di Indonesia dengan persentase program pencegahan korupsi terendah. Dua daerah lainnya adalah Nusa Tenggara Timur dan Papua Barat,” papar Maruli.
Adapun sejumlah penyebab rendahnya persentase program aksi pencegahan korupsi di Papua antara lain belum adanya komitmen kepala daerah, masalah ketersediaan infrastruktur seperti ketersediaan tenaga listrik untuk penggunaan aplikasi e-government, dan kompetensi aparatur sipil negara yang belum memadai.
”Minimnya program aksi pencegahan juga berdampak pada Pemprov Papua menempati peringkat terbawah dalam Survei Penilaian Integritas Tahun 2017 yang diselenggarakan KPK,” ujar Maruli.
Tahun ini, terjadi banyak pembenahan dalam pengelolaan keuangan di Pemprov Papua.
Inspektur Pemprov Papua Anggiat Situmorang mengakui, pihaknya menemukan faktor belum adanya kedisiplinan dalam penyusunan laporan keuangan di sejumlah instansi di Papua. Hal inilah yang mendorong Pemprov Papua melakukan sejumlah usaha pembenahan pada tahun ini untuk memperbaiki masalah tersebut.
Seluruh instansi di lingkup Pemprov Papua telah menggunakan sistem perencanaan dan pengelolaan berbasis komputer secara rutin pada tahun 2018, misalnya aplikasi e-government.
”Tahun ini, terjadi banyak pembenahan dalam pengelolaan keuangan di Pemprov Papua. Hal ini adalah komitmen kami untuk memperbaiki pola pengelolaan keuangan,” katanya.
Ia menambahkan, Pemprov Papua juga telah memberikan tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) bagi seluruh ASN pada tahun ini. ”Pemberian TPP merupakan cara untuk mencegah ASN terlihat penyalahgunaan anggaran,” ujarnya.