Dokter dan Perawat Makin Langka, Banyak Ibu Hamil Terpaksa Melahirkan Seadanya
Oleh
RETNO BINTARTI
·3 menit baca
Yoli Cabeza (37) tidak bisa tenang selama mengandung. Dia didiagnosis mempunyai risiko tinggi saat melahirkan. Dia ”dipingpong” dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain dengan bermacam alasan. Cabeza menggambarkan, dia sudah berkeliling ke beberapa rumah sakit di kota Ciudad Guaya di Negara Bagian Bolivar. Sampai akhirnya, dia diminta kembali ke rumah sakit pertama dan melahirkan di situ.
Perempuan lain, Yusmari Vargas (24), yang mempunyai masalah preeklamsia atau tekanan darah tinggi ketika hamil, mendapati unit kebidanan tutup. Padahal, kontraksi semakin kuat dan pada akhirnya jabang bayi lahir, jatuh di lantai. Kepala bayi terbentur lantai. Malang, saat bayi jatuh, tak ada yang menolong untuk mengangkat. ”Tidak ada alat untuk memotong tali plasenta, benar-benar kacau,” ujar Vargas.
Kekurangan dokter, kekurangan tenaga medis, kekurangan obat-obatan sampai perlengkapan medis membuat proses melahirkan di Venezuela menjadi sesuatu yang sangat mengkhawatirkan. Carolina Rojas (22), perempuan lainnya, bahkan nyaris kehilangan bayinya karena operasi caesar yang direncanakan mengalami penundaan berulang kali.
”Suatu hari, tidak ada spesialis, kemudian tidak ada dokter ahli anak, hari lain dokter anestesi tidak datang,” ujar Rojas tentang pengalamannya. Karena penundaan itu, bayi yang dikandungnya sampai menelan air ketuban.
Kekurangan dokter, kekurangan tenaga medis, kekurangan obat-obatan sampai perlengkapan medis membuat proses melahirkan di Venezuela menjadi sesuatu yang sangat mengkhawatirkan.
Seorang perempuan bahkan sampai melahirkan di dekat sebuah pohon di depan rumah sakit terbesar di Bolivar, awal November lalu. Peristiwa ini difilmkan, terlihat bagaimana perempuan tersebut berjongkok dan melahirkan bayinya.
Migrasi ke luar
Menurut laporan terakhir Kementerian Kesehatan Venezuela, pada tahun 2016 angka kematian bayi meningkat 30 persen atau terjadi 11.466 kematian dalam setahun. Sebuah studi menyebutkan, dari 22.000 dokter di Venezuela, separuhnya bermigrasi ke luar negeri selama 2012-2017.
Akibatnya, tenaga dokter menjadi semakin langka. Rumah sakit juga kekurangan perawat karena tercatat 6.000 tenaga perawat dan 6.600 pekerja laboratorium juga meninggalkan Venezuela. Dalam hal obat-obatan dan kebutuhan rumah sakit, diperkirakan terjadi kekuarangan sekitar 90 persen.
Seorang perempuan di unit kebidanan Rumah Sakit Negra Hipolita, misalnya, mengeluh bukan hanya tak ada dokter. Lebih dari itu, air dan sarana lainnya juga tak tersedia. Yohanni Guarayote, ibu hamil yang sedang dirawat, tampak sangat kurus dengan berat badan 43 kilogram. Makannya sangat terbatas, kebanyakan hanya makan sarden, biji-bijian, dan labu.
”Sekarang saya seperti batang,” kata Guarayote di ruang tanpa pendingin dan tanpa seprei. ”Tahun ini merupakan tahun yang mengerikan bagi perempuan hamil. Mereka harus lebih menunjukkan rasa cinta keibuan,” kata ibu tiga anak ini yang merasa kesulitan memberi makan anak-anaknya.
Venezuela, yang pernah terbilang negara makmur, dalam empat tahun belakangan ini, dilanda krisis ekonomi dan juga krisis politik. Akibatnya, rakyat menderita. Banyak rakyat yang tidak sanggup bertahan karena gaji yang semakin kecil, sementara inflasinya terus membubung.
Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut angka inflasi di Venezuela tahun ini 1,35 juta persen. Upah minimum hanya 6 dollar (setara Rp 90.000) per bulan. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memperkirakan sudah 2,3 juta orang meninggalkan negeri sejak tahun 2015. Tak terkecuali dokter dan perawat, tentu saja. (AFP)