Maju Kena, Mundur Pun Kena
Kemacetan di Tol Jakarta-Cikampek berakar dari menyempitnya ruas jalan karena tersita oleh aktivitas tiga proyek infrastruktur nasional. Di luar itu, ada isu penataan truk kelebihan beban yang juga belum tuntas diatasi.
Sepanjang November 2018, kemacetan di Tol Jakarta-Cikampek menjadi pembicaraan warga, pengusaha, dan pemerintah. Ruas jalan bebas hambatan itu terimbas pembangunan tiga proyek infrastruktur nasional, yaitu Tol Jakarta-Cikampek II Layang, kereta ringan (LRT) Jabodebek, dan KA cepat Jakarta-Bandung.
Konstruksi ketiga proyek bersinggungan mulai dari simpang susun Cikunir hingga Gerbang Tol Bekasi Timur, Kota Bekasi. Persinggungan antara proyek tol layang dan LRT pun masih berlanjut hingga Gerbang Tol Cibatu, Kabupaten Bekasi. Akibatnya, rasio antara volume dan kapasitas jalan (v/c ratio) mencapai angka lebih dari 1, padahal batasannya adalah 0,8.
Kemacetan sebenarnya sudah terjadi berbulan-bulan sebelumnya. Pada Februari 2018, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pengaturan Lalu Lintas Selama Masa Pembangunan Proyek Infrastruktur Strategis Nasional di Ruas Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Salah satu poin utamanya, truk bersumbu tiga atau lebih hanya bisa melintas pukul 06.00-09.00.
Di luar masalah tiga proyek yang berlangsung di ruas yang sama dan menyita sebagian ruas jalan, truk turut jadi sorotan utama. Sebab, berdasarkan catatan PT Jasa Marga (Persero) Tbk, truk menyumbang gangguan terbanyak. Ada 31 gangguan dari total 47 gangguan jalan yang terjadi per hari disebabkan oleh truk, yaitu karena pecah ban dan patah sumbu roda.
Meski sudah ada pelarangan, pelanggaran tetap terjadi. Operasi tertib muatan Jasa Marga di Parking Bay Kilometer 59A pada Oktober 2018 masih menemukan 46 persen truk kelebihan dimensi dan muatan (overdimention/overload atau ODOL).
Sebelum itu, jumlah truk ODOL lebih banyak. Pada 2016, truk ODOL mencapai 61 persen kemudian menjadi 68 persen pada 2017. Memasuki triwulan I 2018, jumlah truk 63 persen, lalu menjadi 66 persen pada triwulan II, dan 50 persen pada triwulan III.
Pihak Kementerian Perhubungan, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), dan kepolisian sepakat untuk merumuskan metode baru penindakan terhadap truk ODOL yang masuk ke tol. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, selain ditilang, muatan truk akan dipindahkan ke kendaraan lain. Adapun biaya pengiriman ditanggung oleh pemilik barang.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Bekasi Yayan Yuliana mengatakan, gencarnya pelarangan truk di tol berpotensi menambah kemacetan di Jalan Raya Kalimalang atau Jalan KH Noer Ali. Ruas tersebut menjadi pilihan utama pengemudi untuk menghindari tol. Padahal, tanpa truk, jalan itu sudah macet, imbas dari pembangunan Tol Becakayu yang masih berlangsung.
”Jalan Raya Kalimalang bukan kelas I, bukan jalan negara,” kata Yayan, Selasa (27/11/2018). Ruas tersebut dikelola Pemerintah Kota Bekasi. Adapun kelas jalan masuk pada Kelas II atau III. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dua kelas jalan tersebut hanya mampu menanggung beban maksimal 8 ton. Namun, truk yang lebih berat dari itu kerap melintas sehingga jalan retak, penuh lubang, di beberapa bagian mengembung.
Oleh karena itu, truk bermuatan lebih dari 8 ton kini dilarang melintas selama 24 jam. Sejak Senin lalu hingga dua pekan ke depan, pihaknya menyosialisasikan larangan itu dengan mencegat langsung truk bermuatan lebih dari 8 ton ataupun truk bersumbu tiga atau lebih di depan Gerbang Tol Kalimalang 2 Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR).
Kerugian ekonomi
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Bekasi Raya Daniel Utomo mengatakan, pembatasan itu justru menambah kemacetan. Pengirim barang yang enggan menunggu waktu masuk tol akan melewati Jalan Raya Kalimalang.
”Namun, ada juga pengirim barang menunggu di beberapa titik, bahkan berhenti di bahu jalan sampai tiba jam masuk tol,” katanya.
Menurut dia, beberapa kebijakan tersebut amat membingungkan. Pengusaha dituntut mengirimkan barang tepat waktu.
”Pelarangan di Jalan Raya Kalimalang berarti memutus total jalan antara timur dan barat untuk truk golongan III ke atas,” ujar Daniel.
Keputusan tersebut, menurut Daniel, tidak dibicarakan dengan pihak swasta sebelumnya. Ia berharap ada pembicaraan untuk mencari solusi terbaik.
Ketua Umum Aptrindo Gemilang Tarigan mengatakan, hambatan yang muncul karena infrastruktur yang tidak efisien akan menimbulkan kerugian besar. Ia mencontohkan, truk yang akan menuju pelabuhan harus kehilangan waktu tiga jam per hari. Padahal, waktu tunggu kapal di pelabuhan maksimal hanya lima hari.
Perbaikan sistematis
Ahli transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen Sophie W Tangkudung, mengatakan, dalam kondisi apa pun truk ODOL harus dilarang karena melanggar ketentuan fisik kendaraan. Namun, berbagai aturan pembatasan untuk truk bersumbu tiga atau lebih semestinya disertai dengan alternatif pilihan bagi pengangkutan barang sehingga rumusan solusi dibuat secara sistematis.
”Dalam sistem transportasi barang, diperlukan pemetaan asal dan tujuan barang untuk menentukan moda transportasi yang tepat,” kata Ellen.
Ia menambahkan, konsep sistem antarmoda pun perlu diperhatikan agar truk golongan III ke atas tidak membawa barang untuk jarak jauh, misalnya antarpulau. Moda transportasi, seperti kapal laut dan kereta, semestinya diprioritaskan untuk pengiriman barang jarak jauh.
Sementara itu, truk akan selalu diperlukan untuk mengirim barang dari moda transportasi utama menuju tujuan akhir. Namun, dalam penggunaan truk pun perlu ada sistem distribusi yang menyesuaikan jenis kendaraan dengan klasifikasi jalan yang dilalui.
Menurut dia, pemerintah perlu menempatkan timbangan portabel atau weight in motion (WIM) untuk mengontrol beban kendaraan. Namun, penempatannya bukan di tol, melainkan di sekitar kawasan industri.
”Jadi, truk ODOL bisa dipulangkan kembali untuk menyesuaikan berat beban,” ujar Ellen.
Sejauh ini, penempatan WIM masih dilakukan di tol. Contohnya, Jasa Marga memiliki 10 WIM, dua di antaranya ditempatkan di Tol Jakarta-Cikampek. Menurut rencana, pada 2019 WIM akan dipasang di beberapa titik di Tol Jakarta-Cikampek, Tol Jakarta-Tangerang, Tol JORR, Tol Surabaya-Gempol, dan Tol Jagorawi.
Gemilang mengakui, truk ODOL terpaksa dibuat untuk keberlangsungan usaha. Tarif logistik yang cenderung stabil tidak sebanding dengan kenaikan harga truk dan suku cadangnya setiap tahun.
Namun, pihaknya berkomitmen untuk menghilangkan truk-truk tersebut. Pemotongan truk kelebihan dimensi antara lain sudah dilakukan di Riau dan Jawa Timur. ”Kami menargetkan pada 2019 masalah truk ODOL sudah tuntas,” katanya.
Meski demikian, hingga saat ini pengiriman barang dengan truk masih mendominasi seluruh pengiriman barang di Indonesia. Padahal, tarif logistik menggunakan truk lebih mahal dibandingkan kapal laut dan kereta. Tarif truk hanya lebih murah dibandingkan pesawat.
”Mengapa truk tetap dipilih (sebagian besar pengusaha). Ada apa dengan moda yang lain?” katanya.
Jangan alihkan isu
Penanganan masalah kemacetan tidak bisa dilakukan secara serampangan. Kementerian Perhubungan seharusnya dapat mengatur dan menegakkan aturan truk ODOL ini secara lebih komprehensif tepat sasaran. Sebab, masalah truk ODOL tidak hanya ada di jalanan seputar Bekasi, tetapi bisa dikatakan di seluruh Indonesia.
Selain itu, penanggulangan kemacetan di Tol Jakarta-Cikampek diharapkan tidak tertutup dengan isu truk ODOL. Tugas pemerintah untuk mengatur agar proyek infrastruktur tidak lagi merugikan publik.
Dari data Komite Penyediaan Infrastruktur Prioritas, per Juni 2018, ada 45 proyek dalam tahap konstruksi dan mulai beroperasi dengan nilai proyek Rp 1.486 triliun. Diperkirakan hingga triwulan III-2019, 66 proyek strategis nasional selesai, 93 proyek dan 2 program beroperasi sebagian.
Antisipasi sejak dini didorong dilakukan. Jangan sampai semuanya jadi serba salah, maju kena, mundur pun kena.