Mentas dari Persoalan Dasar
Bukan hal yang mudah membebaskan warga dari masalah sanitasi. Langkah meraih itu perlu perjuangan melepas kebiasaan buruk. Warga Desa Kayu Bungkuk, Kabupaten Tangerang, sedang berjuang ke arah sana.
Urusan sanitasi warga terkait pembuangan tinja ternyata belum selesai. Pusaran masalahnya kadang membenamkan sebagian orang pada soal kesehatan, ketersediaan, dan kualitas air baku, hingga kelanjutan tempat tinggal.
Ame (71), Selasa (27/11/2018), masih ingat saat sakit perut menderanya. Salah satu warga Desa Kayu Bongkok, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang, Banten, itu sebelumnya biasa buang air besar (BAB) sembarangan.
Bersama sejumlah warga lain, ia buang air di salah satu susukan (aliran air untuk kebutuhan irigasi) dalam wilayah desa. Wujud jamban itu berupa kerangka bambu yang dikelilingi lembaran-lembaran bekas spanduk komersial. Adapun landasan jongkok, dia menggunakan balok yang diletakkan melintang dari aliran air. ”Ceboknya di rumah,” kata Ame saat menunjukkan lokasi susukan tempat ia biasa buang air besar.
Ame dan warga lain, biasa BAB selepas Subuh di jamban itu. Dia yakin aliran air dapat menggelontor tinja. Namun saat kemarau, tinja cenderung diam di tempat.
Kalau sudah begitu, areal persawahan di sekitar kampung jadi alternatif. Nahrawi (39), buruh tani setempat, mengatakan, keberadaan tinja di lahan sawah pada musim kemarau bukan pemandangan aneh. ”Mau bagaimana, memang tidak ada tempat,” kata Nahrawi.
Hari itu, Ame dapat bantuan jamban dan tangki septik dari Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi). Ame dapat tangki septik bio tank yang dibenamkan di halaman rumah.
Adapun Nahrawi tinggal bersama ibunya Lina (67) di rumah dengan beberapa bagian plafon yang nyaris ambruk bersama beberapa anggota keluarga lain.
Menurut Lina, kebiasaan warga BAB di susukan sudah berlangsung dia kecil. ”Masih banyak warga buang air besar di susukan,” ujar Lina. ”Banyak” menurut Lina berarti tak kurang 308 keluarga di kampung itu masih BAB di sungai dan atau menggunakan MCK umum.
Hanya ada 50 keluarga yang memiliki jamban dengan tangki septik kedap dan 162 keluarga dengan jamban tanpa tangki septik kedap.
Data itu seperti diikuti survei dasar akses air minum dan sanitasi (WASH) oleh USAID IUWASH Plus 2018. Ditemukan pula bahwa 495 keluarga dari total 520 keluarga menggunakan air sumur gali dan sungai untuk mencuci. Adapun kebutuhan minum warga dipenuhi dari air isi ulang dalam kemasan galon dan atau mengambil air dari sumur di masjid setempat.
Bantuan Sanitasi
Hari itu juga diluncurkan program layanan SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) komunal lewat program Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) bersama Pemkab Tangerang, USAID IUWASH, dan APERSI.
Koordinator Kelompok Keswadayaan Masyarakat Harapan Kita Samsul Jakarsih (38) yang mengelola instalasi itu mengatakan tidak kurang 41 rumah terlayani dengan sistem itu. Iuran warga ditetapkan dengan tarif Rp 10.000 per jiwa per bulan.
Adapun sumber air diambilkan dari air tanah yang dibor pada kedalaman sekitar 40 meter. Terdapat dua unit sistem itu di mana salah satu di antaranya berada di pekarangan Ibu Penah (100) yang juga nenek Samsul.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tangerang Didin Samsudin mengakui jangkauan layanan air bersih dan sanitasi warga belum merata. Hal ini diperparah dengan pandangan sejumlah warga yang menganggap BAB sembarangan sebagai hal biasa.
Didin menyebut, saat ini 72,8 persen warga Tangerang terlayani sanitasi. Dia berharap, lima tahun ke depan jangkauannya bisa mencapai 90 persen. Kondisi saat ini berarti, 27,2 persen penduduk Kabupaten Tangerang belum memiliki akses pada sanitasi yang baik. Jika dikonversikan dengan penduduk Kabupaten Tangerang pada 2016 sebanyak 3,4 juta jiwa, berarti sekitar 924.800 jiwa belum terakses sanitasi.
Air baku
Pertemuan jelang petang itu alpa membahas ketersediaan dan kualitas air baku yang berkelindan dengan sanitasi dan jamban warga. Bambang Permadi (49), tokoh masyarakat setempat, khawatir ada dampak ikutan bila aliran kali benar-benar ditinggalkan warga dari aktivitas buang hajat.
Ia memperkirakan, aktivitas buang sampah sembarangan ke aliran sungai boleh jadi akan makin bertambah bilamana tidak ada lagi aktivitas warga untuk turut mengawasi aliran sungai. Jika itu terjadi, kualitas air baku warga kemungkinan dapat terancam.
Wilayah perkampungan yang dikelilingi jaringan irigasi sekunder dan tersier dari aliran Cisadane itu, kata Bambang, tengah diincar untuk menjadi kawasan perumahan. ”Tanah sawah ini sudah jadi incaran sejak sekitar 20 tahun lalu dan sekitar sepuluh tahun terakhir makin parah,” ujar Bambang.
Bambang menambahkan, kawasan perkampungan itu masih relatif beruntung karena dekat dengan jaringan irigasi tersier sehingga tiga kali panen dalam setahun masih bisa terjadi. Akan tetapi, areal sawah di kawasan tetangga seperti di Desa Kosambi, Kecamatan Sukadiri, yang berjarak sekitar 400 meter dari Kayu Bongkok, gagal panen sempat terjadi pada sebagian lahan sawah di musim kemarau tahun ini.