Minyak Sawit Indonesia Kian Mendapatkan Tekanan
Minyak sawit Indonesia terus mendapatkan tekanan. Punjab Food Authority (PFA)--di Indonesia semacam Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)--di Provinsi Punjab, Pakistan, mengeluarkan larangan penggunaan vanaspati ghee (semacam minyak solid yang biasa digunakan untuk menggoreng makanan) mulai Juli 2020 dengan alasan vanaspati ghee membahayakan kesehatan. Sekitar 70-80 persen bahan baku vanaspati ghee adalah minyak sawit.
Pelarangan ini akan memukul penjualan minyak sawit Indonesia ke Pakistan yang setiap tahunnya, menurut Duta Besar Indonesia untuk Pakistan Iwan Suyudhie Amri, rata-rata mencapai 1,4 miliar dollar AS. "Setiap tahun nilai pembelian minyak sawit dari Pakistan hampir sama," kata Iwan saat dijumpai di Islamabad, Ibu Kota Pakistan, Minggu (25/11/2018) malam.
Pakistan adalah pembeli terbesar ketiga minyak sawit Indonesia setelah China dan India.
Sebelumnya, Parlemen Eropa menetapkan akan melarang penggunaan minyak sawit sebagai bahan campuran biodiesel pada 2021 dengan alasan untuk melindungi lingkungan. Mereka menyebut, terjadi deforestasi terkait penanaman kelapa sawit di Indonesia. Indonesia bisa bernafas sedikit lega setelah Uni Eropa memberi tambahan waktu untuk Indonesia, dan mereka baru akan melarang minyak sawit pada 2030.
Penundaan larangan ini merupakan kompromi menyusul penolakan Dewan dan Komisi Eropa yang menolak tenggat waktu larangan sawit tersebut. Penundaan ini terkait masa produktif kelapa sawit yang mencapai 25 tahun dan penanaman kelapa sawit besar-besaran di Indonesia dilakukan pada 2005. Pelarangan itu ditunda hingga 2030.
Pakistan adalah pembeli terbesar ketiga minyak sawit Indonesia setelah China dan India.
Menurut Sekretaris III Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Pakistan Adelin Indah Marisa, pernyataan dari PFA tersebut merupakan rekomendasi akademisi dari Universitas Pertanian Faisalabad, Pakistan, yang menyatakan bahwa vanaspati ghee berbahaya bagi kesehatan.
Melawan kampanye hitam
Menanggapi pernyataan PFA tersebut, KBRI di Pakistan pun proaktif menanyakan bukti-bukti hasil penelitian yang menyatakan bahwa vanaspati ghee membahayakan kesehatan. KBRI dan delegasi Indonesia pun berkunjung ke PFA pada Januari 2018 lalu untuk melihat proses pembuatan vanaspati ghee.
Pada April 2018, Dubes Iwan Suyudhie Amri bertemu dengan PFA dan PFA pun menyatakan bahwa yang berbahaya bagi kesehatan adalah hasil dari proses hidrogenasi saat pembuatan vanaspati ghee. "Kita bawa pakar-pakar dari Indonesia dan Pakistan untuk menghadapi black campaign atas minyak sawit ini," kata Iwan.
Pada 10 September 2018, KBRI di Pakistan menggelar seminar minyak sawit di kampus Universitas Pertanian di Faisalabad dan mengundang Profesor Masood Shadiq Butt dari kampus tersebut sebagai pembicara. "Masood Shadiq Butt pada kesempatan itu mengakui bahwa minyak sawit sebagai bahan baku vanaspati ghee itu tidak membahayakan kesehatan dan bisa diolah menjadi berbagai macam produk, dan yang berbahaya adalah proses hidrogenasi saat pembuatan vanaspati ghee," kata Adelin.
Kita bawa pakar-pakar dari Indonesia dan Pakistan untuk menghadapi black campaign atas minyak sawit ini.
PFA pun mengeluarkan larangan pada produsen vanaspati ghee untuk tidak melakukan proses hidrogenasi saat memproduksi vanaspati ghee karena proses itu yang justru membahayakan kesehatan, bukan minyak sawitnya."Tetapi, pelarangan Juli 2020 itu belum dicabut dan seharusnya PFA melakukan sosialisasi dan memberikan pelatihan bagaimana memroses minyak sawit yang baik dan benar," kata Adelin.
Terkait upaya itu, KBRI di Pakistan pun menyelenggarakan Konferensi Bisnis di Kota Lahore pada 16 November 2018 lalu dengan mengundang para distributor minyak sawit dan vanaspati ghee untuk memberikan pemahaman.
Terus berjuang
Menurut Iwan, Indonesia akan terus memperjuangkan minyak sawit dan melawan black campaign terhadap minyak sawit ini. Saat ini Indonesia menguasai 80 persen pangsa pasar minyak sawit di Pakistan, sedangkan Malaysia 20 persen.
Sebelum ada penandatanganan Preferential Trade Agreement (PTA) antara Indonesia dan Pakistan pada September 2013, Malaysia menguasai 30 persen pangsa pasar minyak sawit Pakistan, sedang Indonesia 70 persen. Pemerintah Pakistan mengenakan pajak yang tinggi untuk minyak sawit Indonesia. Setelah ada PTA, tarif pajak minyak sawit Indonesia yang dikenakan pemerintah Pakistan kini sama dengan Malaysia, sehingga harga minyak sawit Indonesia sedikit lebih murah. Importir Pakistan pun lebih memilih minyak sawit Indonesia.
"Semua stakeholder harus bersatu untuk menghadapi tantangan minyak sawit ini, baik tantangan dari Uni Eropa soal lingkungan, juga tantangan dari Pakistan yang terkait isu kesehatan. Kita bawa pakar-pakar dari Indonesia untuk menghadapi black campaign ini," kata Iwan.
Kami mengeluarkan banyak uang untuk riset yang membuktikan bahwa minyak sawit tidak membahayakan kesehatan.
Sementara itu, pada Sabtu (24/11/2018), Tariq Ullah Sufi, Ketua Pakistan Vanaspati Manufacture Association (PVMA) saat ditemui di kantornya di Lahore, Pakistan, mengatakan bahwa larangan penggunaan vanaspati ghee oleh PFA per Juli 2020 tentu akan memukul usaha mereka. "Material lain selain minyak sawit yang cocok untuk manufaktur kami ini sangat mahal," kata Sufi.
Ia menjelaskan, perusahaannya memproduksi berbagai produk, seperti minyak solid vanaspati ghee yang sangat terkenal digunakan oleh warga Pakistan, juga untuk makanan kemasan. Vanaspati ghee yang diproduksi Sufi dalam 1 kilogram minyak solid itu berbahan 70 persen minyak sawit. Sisanya adalah minyak soyabean, minyak cottonseed, minyak bunga matahari (sunflower).
Perang dagang
Sekretaris Jenderal PVMA Umer Islam Khan menuding, pelarangan vanaspati ghee ini adalah konspirasi internasional dan sekadar perang dagang. "Mereka mempromosikan bahwa soyabean oil itu lebih baik daripada minyak sawit. Kami mengeluarkan banyak uang untuk riset yang membuktikan bahwa minyak sawit tidak membahayakan kesehatan," kata Khan.
Menurut Khan, propaganda buruk minyak sawit ini juga akan merugikan Pakistan. "PVMA harus melindungi manufaktur atau pabrik-pabrik yang memproduksi barang-barang kebutuhan hidup atau produk olahan yang 80 persen materialnya adalah minyak sawit," kata Khan.
Jika vanaspati ghee yang menggunakan minyak sawit ini dilarang, minyak bunga matahari, soyabean, canolla, cottonseed, harus impor dari Amerika Serikat, Eropa dan Argentina. Di Pakistan, ada lahan untuk bahan baku tersebut, namun belum bisa memenuhi kebutuhan produksi lokal sehingga harus mengimpor.
"Orang Pakistan ini menggunakan vanaspati ghee karena harga minyak sawit lebih murah daripada minyak bunga matahari. Kalau itu dilarang, apa warga Pakistan akan mampu membeli minyak dari bahan baku selain minyak sawit?" kata Khan.
Betapa pun PR masih banyak, setidaknya PFA belum mencabut larangan penggunaan vanaspati ghee pada Juli 2020 mendatang meskipun hal tersebut tidak ada persetujuan dari pemerintah pusat Pakistan. Namun tetap saja pelarangan itu akan merugikan minyak sawit Indonesia, terlebih Provinsi Punjab adalah provinsi terkaya di Pakistan dengan populasi 110 juta jiwa dari total 210 juta penduduk Pakistan.