JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah perusahaan beralih menuju penyimpanan data dan solusi berbasis sistem komputasi awan. Mereka mengejar efisiensi dan kecepatan memroses kinerja bisnis.
National Technology Officer of Microsoft Indonesia, Tony Seno, mengutip laporan Gartner "The Data Center is Dead and Digital Infrastructures Emerge (April 2018)", di sela-sela Microsoft Hybrid Cloud Summit 2018, Selasa (27/11/2018), di Jakarta, menyebut sekitar 10 persen perusahaan besar di dunia mulai tidak menggunakan pusat penyimpanan data fisik miliknya sendiri pada tahun lalu. Pada 2025, persentase perusahaan yang mematikan pusat penyimpanan data fisik diperkirakan bertambah menjadi sekitar 85 persen.
Penyimpanan data secara fisik membutuhkan anggaran khusus dari belanja modal, perlu lahan luas, mesin pendingin, listrik berdaya besar, dan sistem keamanan siber yang belum terintegrasi. Sementara sistem komputasi awan bekerja fleksibel, cepat, infrastruktur pusat data disediakan pihak luar, serta sistem keamanan siber yang berlapis dan terintegrasi.
"Kemudahan-kemudahan itu menyebabkan perusahaan beralih. Di Indonesia, sejumlah perusahaan, terutama rintisan bidang teknologi, memanfaatkan sistem komputasi awan secara menyeluruh," ujar Tony.
Kebijakan wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana diatur di Pasal 17 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Kebijakan ini rencananya akan diubah oleh pemerintah.
Tony memandang, tren penggunaan sistem komputasi awan tidak mengganggu rencana perubahan PP No 82/2012. Penyedia solusi layanan berbasis sistem komputasi awan biasanya bermitra dengan penyedia infrastruktur fisik pusat data, baik khusus sistem komputasi awan maupun tradisional. Sebagai contoh, Microsoft menjalin kemitraan dengan lima penyedia infrastruktur fisik pusat data lokal di Indonesia, yaitu Telkom Telstra, VibiCloud, CBN, Visionet, dan Datacomm. Bersama kelimanya, Microsoft menawarkan solusi berbasis sistem komputasi awan hibrid bernama Azure Stack.
"Perusahaan pelanggan tidak perlu mengeluarkan belanja modal untuk membangun sendiri infrastruktur fisik pusat penyimpanan data. Sebagai gantinya, mereka cukup menggelontorkan biaya operasional untuk berlangganan sistem komputasi awan," tambah dia.
Direktur PT Kreatif Dinamika Integrasi (perusahaan mitra Microsof yang menyediakan berbagai solusi layanan berbasis sistem komputasi awan) Galib Machri mengungkapkan, sejumlah perusahaan rintisan bidang teknologi lokal sudah memakai sistem komputasi awan. Mereka menggunakannya sejak pertama kali perusahaan didirikan.
Data merupakan aset utama bagi perusahaan rintisan. Dengan data, lanjut dia, pemilik perusahaan merencanakan strategi, mengambil keputusan, dan memasarkan produk. Proses kerja mereka cepat, hampir selalu mengandalkan aplikasi mobile untuk mendistribusikan layanan ke konsumen.
"Pola bekerja seperti itu dirasa lebih mudah dan efisien jika memakai sistem komputasi awan," ujar Galib.
Direktur Departemen Teknologi Informasi Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia (INASGOC) Pandji Choesin menceritakan, pihaknya menggunakan sistem komputasi awan selama penyelenggaraan Asian Games 2018. Layanan itu memudahkan panitia menangani lalu lintas data internet serta diseminasi informasi secara sistematis dan andal.
Dilihat dari sisi penyimpanan data, INASGOC menerapkan metode hibrid. Data pribadi atlet yang bersifat strategis, seperti paspor dan profil, disimpan di server lokal. Sementara data pribadi lainnya bersifat terbuka, misalnya catatan performa pertandingan, maka panitia menyimpannya di komputasi awan.
Dia menjelaskan, manfaat lain pemakaian sistem komputasi awan adalah memudahkan mendeteksi ancaman kejahatan siber. Sebagai gambaran, pada saat acara pembukaan Asian Games 2018, panitia sempat menjumpai ancaman pembajakan. Sistem komputasi awan yang dipakai memungkinkan panitia bergerak lebih cepat menangani.
Sementara itu, Kepala Bagian Hukum dan Kerja Sama Ditjen Aplikasi Dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Antonius Malau menegaskan, pemerintah akan tetap melanjutkan rencana mengubah kebijakan mengenai kewajiban penempatan pusat data dan pusat pemulihan bencana di Indonesia. Kebijakan yang tertuang dari draft revisi PP No 82/2017 itu kini telah masuk di sekretariat negara.
Kemkominfo tidak melarang pelaku industri digital yang kontra terhadap rencana kebijakan itu. Selama proses penyusunan draft, Kemkominfo mengklaim telah beberapa kali melakukan konsultasi publik.
"Kami merombak pendekatan dari mengutamakan penempatan infrastruktur fisik pusat data menjadi klasifikasi jenis data. Kami menyadari ada pihak yang kontra dan khawatir, misalnya cemas menyangkut perlindungan data. Kami sendiri telah menyiapkan draft Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dan akan masuk pembahasan di DPR tahun 2019," kata Antonius.
Dia menambahkan, Kemkominfo berharap nantinya revisi PP No 82/2012 diikuti oleh pelaku usaha digital. Ditambah lagi, revisi itu mencatumkan sanksi bagi pelaku yang tidak patuh.