Sampah Jadi Masalah Bersama
Laporan Norbertus Arya Dwiangga Dari Fukuoka, Jepang
FUKUOKA, KOMPAS - Sampah menjadi masalah yang dihadapi semua kota di dunia. Selain mengurangi sampah, diperlukan teknologi untuk mengolah sampah agar dampak negatif untuk lingkungan menjadi minimal.
Hal itu terungkap di dalam The 9th Environmental Technology Expert Group Meeting yang diselenggarakan United Nations (UN) Habitat, Selasa (27/11/2018), di Fukuoka, Jepang. Dalam forum tersebut, hadir akademisi, praktisi, swasta, dan para pengambil kebijakan dari beberapa kota di dunia, antara lain Indonesia, Nepal, Afganistan, dan Myanmar.
Sampah dialami semua kota di dunia. Di Fukuoka, sampah disadari menjadi masalah sejak tahun 70-an. Tempat pembuangan sampah terbuka yang tidak dikelola dengan prinsip berkelanjutan menimbulkan polusi baik udara, tanah, maupun air. Salah satu metode pengolahan sampah yang dikembangkan untuk mengelola tempat pembuangan sampah di kota Fukuoka adalah mempercepat penguraian dengan menggabungkan teknik aerob dan anaerob.
Menurut akademisi dari Universitas Fukuoka, Yasushi Matsufuji, penerapan "metode Fukuoka" tersebut membuat lokasi pembuangan sampah dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain di kemudian hari, semisal menjadi ruang terbuka hijau atau taman seperti dilakukan di Fukuoka. Metode tersebut telah diadopsi di Malaysia, Iran, Vietnam, dan Kenya. "Kunci pengolahan sampah ada pada sumber daya manusia, selain fasilitasnya," kata Matsufuji.
Agar proses penguraian sampah di tempat pembuangan sampah maksimal, menurut Chief Recycling Based Society Planning Section Kota Fukuoka, Hiromi Hayashi, pemilahan sampah harus dilakukan sedari awal atau dari rumah tangga masing-masing. Di Fukuoka, sampah diklasifikasikan menjadi 9 jenis sampah. Sementara, saat ini terdapat 4 lokasi tempat pembuangan sampah di sekeliling Fukuoka.
Namun demikian, gerakan untuk mengurangi sampah, menggunakan kembali barang yang masih bisa digunakan, serta mendaur ulang sampah (3R) mesti menjadi dasar pengolahan sampah. Pemilahan sampah dilakukan berbasis komunitas atau lokasi, termasuk disediakan tempat pengumpulan sampah untuk gawai atau barang elektronik kecil di lokasi tertentu.
Melalui pemilahan sampah tersebut, khusus untuk sampah yang mudah terbakar, seperti plastik, dibawa ke fasilitas pembakaran atau incinerator yang dimiliki semacam badan usaha milik daerah (BUMD). Setiap 10 kilogram sampah, rumah tangga atau usaha kecil membayar 1 dollar AS yang kemudian dananya digunakan untuk menjalankan fasilitas tersebut. Di sana, sampah dibakar sampai menjadi abu.
Sementara, uap panas yang dihasilkan digunakan untuk menggerakkan turbin sehingga mampu menghasilkan listrik mencapai 12 megawatt (MW). Abu sisa pembakaran ditumpuk di sebuah lokasi pembuangan yang berkonsep ramah lingkungan, yakni Green Hill Madoka.
Dalam paparannya, Kepala Bidang Perencanaan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kota Banjarmasin, Windiasti Kartika Abdurrahman mengatakan, Kota Banjarmasin telah melarang penggunaan kantong plastik di minimarket sejak Juni 2016. Tahun depan, pelarangan tersebut akan diperluas ke pasar tradisional.
Menurut Windiasti, tantangan pengolahan sampah di Banjarmasin pertama-tama adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat. Kemudian, pendanaan yang ada masih belum mencukupi kebutuhan.
Hal senada diungkapkan Deputy Head, Pollution Control and Cleansing Department Yangon City Development Committee Saw Win Maung. Menurut Maung, untuk mempercepat proses pengolahan sampah di negaranya, diperlukan transfer teknologi.