Inovasi Dimulai dari Perubahan Cara Pandang Guru
Tingkat IQ tidak menentukan kesuksesan belajar siswa, melainkan penemuan pola belajar yang pas oleh guru, orangtua, dan kepala sekolah
JAKARTA, KOMPAS – Inovasi pembelajaran yang khas dengan mengadaptasi budaya lokal merupakan jalan keluar permasalahan stagnannya peningkatan mutu pembelajaran di sekolah.Kuncinya ialah dengan pertama-tama mengubah cara pandang guru terhadap penyebab permasalahan belajar di kelas.
“Umumnya, guru cenderung menyalahkan faktor di luar kelas sebagai penyebab tidak tercapainya target pembelajaran siswa,” kata Rasita Ekawati Purba, Manajer Bidang Pengawasan, Evaluasi, Penelitian, dan Pembelajaran untuk INOVASI, dalam forum temu INOVASI yang bertema “Solusi Konteks Lokal untuk Peningkatan Mutu Pendidikan” di Jakarta, Rabu (28/11/2018).
INOVASI merupakan sebuah program kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan pemerintah Australia terkait peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Forum temu INOVASI tersebut dihadiri oleh perwakilan guru, tenaga kependidikan, dan pemerintah daerah se-Indonesia. Adapun program INOVASI dilaksanakan di empat provinsi, yakni Jawa Timur (Jatim), Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Kalimantan Utara (Kaltara). Metodenya adalah dengan menurunkan fasilitator untuk membantu guru-guru di sekolah mengenai permasalahan pembelajaran, menganalisa, dan mencari solusinya. Setelah itu, guru-guru yang sudah dilatih bisa diangkat menjadi fasilitator daerah untuk menyebarkan ilmu kepada rekan-rekan mereka.
Rasita mengungkapkan, guru kerap cepat menyimpulkan bahwa permasalahan belajar siswa akibat siswa tidak dituntun oleh orangtua di rumah. Misalnya karena orangtua tidak menyediakan suasana belajar yang kondusif serta tabiat siswa yang sukar untuk diajak belajar. Hal ini karena masih banyak guru yang menganut paham lama bahwa pembelajaran adalah sebuah sistem yang kaku dan hanya ada satu jenis.
Guru kerap cepat menyimpulkan bahwa permasalahan belajar siswa akibat siswa tidak dituntun oleh orangtua di rumah.
“Melalui program Guru BAIK, mereka diajak untuk menganalisa kembali permasalahan belajar siswa. Intinya, setiap siswa memiliki kemampuan dasar yang terus bisa diolah, walaupun dengan kecepatan yang berbeda-beda. Tingkat IQ tidak menentukan kesuksesan belajar siswa, melainkan penemuan pola belajar yang pas oleh guru, orangtua, dan kepala sekolah,” tutur Rasita.
Ia menjelaskan, ketika program Guru BAIK dimulai, guru diberi daftar yang harus diisi mengenai setiap siswa mereka. Mereka menjabarkan siswa-siswa yang dinilai memiliki masalah belajar di kelas. Guru kemudian diajak menganalisa daftar itu setelah diberi pembekalan mengenai pengelolaan minat, bakat, dan kemampuan siswa. Ternyata, banyak dari siswa yang dianggap bermasalah tersebut akibat guru belum memiliki pengetahuan mengenai berbagai cara mengembangkan kapasitas mereka.
Kreativitas guru
Laili Munaro, guru kelas I SDN 4 Malaka, Kabupaten Lombok Utara, NTB mengatakan, ia menerapkan target awal yang berbeda-beda bagi setiap siswa. Misalnya, ada siswa yang cepat menyerap pelajaran sehingga bisa diberi target yang tinggi. Akan tetapi, ada siswa yang membutuhkan waktu belajar lebih lama. Mereka diberi target awal lebih rendah, biasanya sesuai target kelulusan minimal per materi agar siswa bisa lebih lama belajar dan berlatih. Setelah itu, guru secara bertahap meningkatkan target.
Sementara itu, guru SD Masehi Kapunduk, Kabupaten Sumba Timur NTT, Mardi Juana P Loya memutuskan menggunakan bahasa lokal, yaitu bahasa Kapunduk sebagai bahasa pengantar belajar di kelas. Tujuannya agar siswa cepat menangkap konsep pelajaran. Seusai itu, baru mereka membahasnya dengan memakai Bahasa Indonesia.
Mardi Juana P Loya memutuskan menggunakan bahasa lokal, yaitu bahasa Kapunduk sebagai bahasa pengantar belajar di kelas.
“Alat peraga pelajaran juga ditulis dalam dua bahasa, bahasa Kapunduk dan bahasa Indonesia. Kami juga menerjemahkan lagu-lagu anak ke bahasa lokal,” tuturnya.
Keterlibatan pemda
Campur tangan pemerintah daerah juga menjadi penentu keberhasilan inovasi lokal. Misalnya, Desa Pulau Sapi di Kecamatan Mentara, Kabupaten Malinau, Kaltara yang menyisihkan dana Rp 35 juta setiap tahun untuk perpustakaan desa.
Sekretaris Desa Pulau Sapi, Rudiyanto, menuturkan, perpustakaan diamanatkan mengelola literasi anak-anak desa. Mereka wajib berjejaring dengan sekolah-sekolah di desa itu, dan di desa-desa tetangga.
Bupati Bulungan, Kaltara, Sudjati mengatakan bahwa gerakan literasi berasal dari akar rumput. Pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator. Di setiap sekolah mulai rutin dilakukan kelompok kerja guru minimal sekali dalam sepekan. Guru-guru berkumpul usai jam belajar selesai dan melakukan evaluasi mingguan serta perencanaan pembelajaran untuk pekan depan sambil memastikan kesinambungan setiap jenjang.
“Siapapun kepala daerahnya tidak akan menghambat gerakan literasi karena untuk kemajuan daerah,” ujarnya.