Dengan dalih sempitnya waktu dan RUU yang masih menumpuk, DPR mengaku sulit merealisasikan keinginan KPK agar rekomendasi UNCAC yang baru delapan ditindaklanjuti, dari 53 yang direkomendasi, diterapkan dalam regulasi.
Jakarta, Kompas - Keinginan Komisi Pemberantasan Korupsi agar rekomendasi Konvensi tentang Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) diimplementasi ke regulasi sulit diwujudkan DPR pada periode ini. Dengan beban legislasi menumpuk di sisa masa jabatan 10 bulan lagi, DPR menilai tak ada ruang merevisi usulan undang-undang baru.
Sementara beban legislasi di bidang hukum yang menjadi tanggung jawab Komisi III DPR dan pemerintah masih tersisa tiga rancangan UU, yaitu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Jabatan Hakim, dan RUU Mahkamah Konstitusi.
Dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019, beban legislasi bertambah satu, yaitu RUU Pemasyarakatan. Dengan beban RUU itu, waktu pembahasan makin berkurang. Pasalnya, dari sisa 10 bulan masa jabatan DPR periode ini, sekitar lima bulan akan lebih banyak digunakan anggota untuk fokus pada Pemilu 2019.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (28/11/2018), mengatakan, sejumlah rekomendasi UNCAC sebenarnya dapat diatur dalam regulasi. Namun, butir-butir rekomendasi itu masuk ke RKUHP, bukan lewat revisi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana permintaan KPK.
”Kalau (tidak lewat RKUHP), kemungkinan sulit dibahas periode ini karena kami di Komisi III tengah fokus menyelesaikan RKUHP dan sejumlah RUU lainnya di periode ini sebelum September 2019 (akhir masa jabatan),” katanya.
Arsul yang juga anggota Panitia Kerja RKUHP DPR mengatakan, sejumlah poin rekomendasi UNCAC direncanakan masuk RKUHP yang saat ini tengah dibahas DPR bersama pemerintah. Beberapa di antaranya korupsi di sektor swasta, peningkatan kekayaan secara ilegal (illicit enrichment), dan perdagangan pengaruh. ”Walaupun revisi UU Tipikor masuk Prolegnas lima tahunan, tetapi kan tak pernah masuk Prolegnas prioritas. Jadi, mumpung di depan mata pembahasan RKUHP, masukkan di situ saja,” kata Arsul.
Namun, memasukkan rekomendasi UNCAC dalam RKUHP tak cukup. UU No 30/2002 tentang KPK juga perlu direvisi untuk mengubah kewenangan KPK yang hanya menangani kasus korupsi terkait aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan korupsi yang dilakukan kedua pihak tersebut.
”Tanpa merevisi UU KPK, (korupsi di sektor swasta) menjadi ranah polisi dan jaksa. Jadi, kalau KPK mau menangani korupsi swasta, UU-nya sekaligus diubah agar tak mengabaikan logika hukum,” kata Arsul.
Sebelumnya, dari diskusi publik paparan hasil kajian putaran I dan II UNCAC, Selasa lalu, KPK meminta komitmen serius pemangku kepentingan menguatkan pemberantasan korupsi. Caranya, menerapkan rekomendasi UNCAC 2003 yang diratifikasi Indonesia sejak tahun 2006 melalui regulasi. Namun, Indonesia baru menindaklanjuti 8 rekomendasi UNCAC dari total 53 rekomendasi UNCAC yang dibuat 2010-2018.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, jika dinilai penting untuk memperkuat pemberantasan korupsi, revisi UU Tipikor jauh lebih tepat dibandingkan memaksakan masuk dalam RKUHP.