Koperasi Bisa Jadi Alternatif bagi Komunitas Perfilman
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Koperasi dinilai bisa menjadi instrumen bagi komunitas film untuk membangun kemandirian industri film di Tanah Air. Kekompakan dan kesamaan pandangan dibutuhkan untuk mewujudkan hal tersebut.
"Di dunia muncul usaha-usaha mandiri, kecil, berbasis kerja sama dan kolaborasi yang mewarnai industri kreatif," kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid pada diskusi kelompok terfokus di Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Menurut Farid kecenderungan berkolaborasi pun kini meluas di kalangan muda. Kolaborasi dinilai relevan pula di industri perfilman yang memiliki tahapan kompleks; mulai kreasi, produksi, distribusi, hingga eksebisi.
"Potensi energi kreatif kita luar biasa. Problem muncul ketika dari kreasi ini mau berlanjut ke produksi yang bukan cuma butuh modal bakat atau kreativitas," kata Farid.
Farid mengatakan masalah juga ada di tahapan distribusi dan eksebisi. Ada keterbatasan ketika jumlah layar bioskop di Indonesia hanya sekitar 1.400 layar.
"Problem distribusi sampai sekarang belum terpecahkan. Tidak ada perusahaan yang khusus menangani masalah distribusi film ini karena eksebisi boleh dibilang oligopoli," katanya.
Dia menuturkan, penawaran ke industri bermodal besar selalu akan dihadapkan pada pertanyaan menyangkut profit atau keuntungan. "Koperasi tidak berurusan dengan untung rugi dulu. Maksudnya lebih untuk melancarkan seluruh arus. Kalau bisa diterapkan di ranah ekonomi kreatif, koperasi bisa menjadi solusi bagi banyak hal," ujar Farid.
Sekretaris Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) Meliadi Sembiring mengatakan, kekompakan seluruh anggota dibutuhkan untuk menjadikan koperasi sebagai solusi permasalahan insan perfilman.
"Koperasi berpikir tidak hanya profit tetapi juga benefit. Usaha memang harus untung. Tapi ada hal yang tidak bisa dinilai dengan uang, seperti serapan tenaga kerja dan manfaat bagi anggota," kata Meliadi.
Ketua Bidang Festival Internasional dan Hubungan Luar Negeri Badan Perfilman Indonesia Dimas Jayasrana menuturkan, dialog saling mengisi dibutuhkan karena kerja-kerja di dunia kreatif terkait dengan banyak pihak.
Penyelenggara diskusi kelompok terfokus Suroto mengatakan, kegiatan tersebut digelar karena ada keinginan komunitas film ke depan untuk membangun kemandirian industri film.