JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemilihan Umum akan mengambil pilihan kebijakan paling berisiko kecil dan mudah diterapkan untuk menyikapi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta terkait pencalonan Oesman Sapta Odang pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Hal ini karena KPU ingin menghindari sengketa di tengah masih panjangnya tahapan Pemilu 2019.
Kendati begitu, pilihan diupayakan mengerucut pada kebijakan yang bisa dimaknai untuk menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan PTUN Jakarta.
”Opsinya ada beberapa. Tinggal kami bahas opsi yang sedikit risikonya, mudah implementasinya, dan semua pihak menerimanya,” kata Ketua KPU Arief Budiman di Gedung KPU, Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Putusan PTUN Jakarta sebelumnya memerintahkan KPU memasukkan nama Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta dalam daftar calon tetap (DCT) DPD. Sementara putusan MK sebelumnya menolak calon anggota DPD menjadi pengurus partai politik. Putusan MA menyatakan Peraturan KPU terkait Pencalonan Anggota DPD berlaku asalkan tak berlaku surut.
KPU merencanakan menggelar rapat pleno pembahasan kebijakan yang akan diambil, Rabu petang. Namun, Arief mengatakan kemungkinan keputusan baru diambil Kamis. Dia mengakui suara di internal KPU belum ”bulat” terkait kebijakan yang akan diambil KPU. Arief menambahkan, kebijakan itu tak akan diambil dengan mekanisme pemungutan suara di antara tujuh anggota KPU.
Semua anggota KPU sudah mendapat informasi terkait opsi-opsi yang bisa dilakukan. Opsi itu di antaranya mengesampingkan putusan PTUN karena dianggap tak sejalan dengan putusan MK, menjalankan putusan PTUN, serta opsi menjalankan putusan PTUN dengan memasukkan nama Oesman ke DCT DPD, tetapi disertai syarat menyertakan surat pemberhentian dari kepengurusan parpol saat ditetapkan sebagai calon terpilih. ”Yang jelas mengerucut pada mengambil kebijakan yang bisa dimaknai menjalankan putusan MK, MA, dan PTUN,” kata Arief.
Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan mengaku tak bisa berkomentar soal penyikapan KPU atas putusan-putusan lembaga peradilan itu. Dia menyerahkan tindak lanjut putusan PTUN kepada KPU.
Menurut peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, sikap tegas KPU menerapkan putusan MK bahwa pengurus parpol tak bisa menjadi calon anggota DPD memberi keyakinan kepada publik, Pemilu 2019 diselenggarakan atas dasar supremasi konstitusi. ”KPU tak boleh dan tak bisa digugat secara hukum karena menjalankan perintah konstitusi. Karena itu, KPU harus mengambil sikap tak menerima pencalonan pengurus parpol,” katanya.