Pertengahan November lalu di Jakarta, secara resmi Indonesia Clean Energy Forum atau ICEF diluncurkan. ICEF adalah sebuah wadah dialog dan gagasan untuk mendorong transisi energi menuju sistem yang rendah karbon. Gagasannya adalah mengurangi secara bertahap pemakaian batubara dan memperbanyak penggunaan energi terbarukan.
Mengapa pemakaian batubara mesti dikurangi? Apa sebab sehingga Indonesia perlu bertransisi dari energi fosil (baca: batubara) menuju energi terbarukan dari tenaga angin, air, surya, atau nabati? Lalu, apa yang akan terjadi seandainya Indonesia bersikukuh menggunakan batubara sebagai sumber energi primer pembangkit listrik?
Sampai triwulan III-2018, batubara memegang porsi 59,2 persen pada bauran energi pembangkit listrik di Indonesia. Gas bumi menyumbang 22,3 persen, bahan bakar minyak 6,18 persen, sedangkan energi terbarukan sebesar 12,32 persen. Artinya, sumber energi fosil (batubara, gas bumi, dan minyak) mendominasi hingga 87,68 persen dan sisanya adalah sumber energi terbarukan.
Idealisme menahan kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius, seperti yang tertuang dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement) 2015, adalah salah satu alasan kenapa batubara dan sumber energi fosil lainnya mesti dikurangi. Emisi karbon yang dihasilkan energi fosil dianggap sebagai biang keladi meningkatnya efek gas rumah kaca. Solusinya adalah menggiatkan pemanfaatan energi terbarukan.
Akan tetapi, membaca kembali kontribusi batubara pada bauran energi di Indonesia, tampaknya tak mudah melaksanakan transisi energi dalam waktu dekat. Apalagi, mata rantai bisnis batubara dari hulu sampai hilir di Indonesia berlangsung lama dan bisa dikatakan sudah sangat mapan. Berbicara bisnis batubara adalah mengenai bisnis senilai triliunan rupiah yang tak lepas dari unsur politik dan kekuasaan.
Hal lainnya adalah cadangan batubara di Indonesia yang sekitar 24 miliar ton dan diperkirakan masih mampu diproduksi sampai 60 tahun ke depan. Artinya, proses transisi energi di sini bakal memakan waktu yang cukup lama. Akan tetapi, bukan berarti wacana transisi diabaikan begitu saja.
Jerman memberi contoh tentang transisi tersebut. Dalam acara Indonesia-German Renewable Energy Day, pekan lalu di Jakarta, terungkap bahwa proses transisi di Jerman tak begitu mulus. Perlu waktu sampai 20 tahun lamanya bagi rakyat Jerman, dan pengambil kebijakan, untuk benar-benar sadar perlunya transisi menuju energi terbarukan. Toh, Jerman masih bergantung pada batubara terutama saat musim dingin tiba meski mereka berniat benar-benar meninggalkan energi fosil di masa mendatang.
Sejumlah kajian juga menyebutkan bahwa ongkos energi terbarukan kian kompetitif dan dalam beberapa kasus justru lebih murah ketimbang ongkos energi fosil dari batubara. Syaratnya, pemilihan teknologi yang efisien dan total kapasitas energi terbarukan harus dalam jumlah besar untuk memenuhi syarat keekonomian pengembangan. Ongkos listrik tenaga surya di beberapa negara sebesar 3 sen dollar AS per kWh atau setengah dari ongkos listrik berbahan bakar batubara.
Indonesia dan Jerman memang tak bisa disejajarkan begitu saja. Hanya saja, ada pelajaran yang bisa diambil, yaitu sumber energi terbarukan di Indonesia yang melimpah sebesar 400.000-an megawatt memberikan jaminan tentang ketahanan energi. Energi fosil tinggal menunggu waktu untuk habis. Lalu, ke mana lagi menggantungkan harapan penyediaan sumber energi selain ke energi terbarukan? Sekarang!