Berbicara mengenai makanan, tidak sekadar bagaimana masyarakat bisa memenuhi kebutuhannya atau cita rasa semata. Akan tetapi, makanan itu memiliki daya tarik visual yang kuat. Selain bentuk makanan semata, ada efek selera dan cerita di balik makanan tersebut.
Bentara Budaya Jakarta (BBJ) di Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, mengangkat kekuatan visual makanan melalui karya seni kartunis dan illustrator, Beng Rahadian dalam pameran Cerita Makan Nusantara.
Acara yang dibuka penyair Sapardi Djoko Damono ini berlangsung 28 November hingga 6 Desember 2018. Pameran dikuratori Yulian Ardhi ini menampilkan 51 karya ilustrasi dari Beng Rahadian. Jauh dari menggambar makanan semata, Beng berusaha menangkap efek selera dan cerita di balik makanan.
Beng mengatakan, makanan memiliki ekosistem besar, mulai dari bagaimana bahan bakunya diproduksi, didapatkan, diolah, hingga disajikan. “Pak William Wongso (ahli kuliner) mengatakan, makanan bukan sekadar urusan chef (koki), tetapi urusan semua orang,” katanya.
Di kalangan masyarakat Indonesia, makanan lekat dengan banyak acara adat. Makanan menjadi perantara untuk mengungkapkan rasa syukur.
Sudah pasti, makanan yang dituangkan dalam karya seni ini adalah makanan yang pernah dimakan Beng Rahadian, lulusan Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia di Yogyakarta.
Frans Sartono, Direktur Program Bentara Budaya, mengatakan, gambar tidak hanya merekam wujud makanan saja. Semua informasi mengenai sensasi rasa dan interaksi Beng Rahadian sebagai pelahap makanan juga terekam dalam gambar.
“Beng tidak hanya mencerna makanan yang menghidupinya, tapi juga menghidupkan (kembali) apa yang pernah dicernanya,” kata Frans, Rabu.
Selain menikmati makanan dalam karya Beng, pengunjung juga bisa mengikuti pengalaman Beng dalam menciptakan karya dalam workshop kreatif menggambar makanan dan bincang seniman (artist talk), Sabtu (1/12/2018) pukul 10.00 – 12.00 dan 14.00 – 16.00.
Teater-Bunyi
Masih berakhir pekan dengan karya seni. Di Gedung Kesenian Jakarta, ada pertunjukan teater–bunyi bertajuk Gong ex Machina, yang berlangsung pada Kamis hingga Jumat ini.
Gong ex Machina, sebuah pertunjukan dari permainan kata yang merujuk pada istilah teknis teater Yunani Tua (sekitar abad 5 SM), Deus ex Machina, yang artinya kurang lebih Dewa di dalam/melalui mesin.
Pentas ini merupakan hasil produksi bersama The Kingdom of Archipelago dan Teater Garasi/Garasi Performance Institute. Karya ini bertolak dari refleksi atas hasil penelitian Yasuhiro Morinaga yang luas terhadap kebudayaan Gong di negara-negara Asia Tenggara.
Dalam keterangan pers disebutkan bahwa Gong ex Machina juga bertolak dari sejarah pertemuan kebudayaan musik atau bunyi dengan teknologi perekam dan pemutar suara modern seperti phonograph atau gramophone.
Sebagaimana pertemuan dengan modernitas yang lain, dilatari revolusi industri dan kolonialisme Eropa di abad ke-17 hingga abad ke-20, pertemuan dengan gramophone adalah kisah tentang perjumpaan yang tak sederhana, penuh distorsi dan manipulasi, di samping kisah perihal adaptasi dan apropiasi.
Perjumpaan ini mengubah cara kita mengalami dan memaknai musik atau bunyi secara umum.
Pementasan ini dikemas dengan sistem tata suara 3D-immersive. Tiket pertunjukan Gong Ex Machina ini sudah dapat dipesan secara online melalui http://bit.ly/GongExMachina.