JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan tambang batubara Indonesia didorong agar melakukan hilirisasi di dalam negeri. Hilirisasi batubara yang diinginkan pemerintah adalah mengubah batubara menjadi gas atau dikenal dengan gasifikasi batubara. Gasifikasi dapat mengurangi ketergantungan impor elpiji Indonesia yang mencapai hampir 5 juta ton per tahun.
Dari konsumsi elpiji di Indonesia sebanyak 6,7 juta ton dalam setahun, sekitar 70 persen diperoleh dari impor. Nilai impor itu setara 3 miliar dollar AS setahun. Kendati Indonesia punya cadangan gas alam, namun komposisi gas di Indonesia mayoritas bertipe gas kering sehingga tak banyak yang bisa diolah menjadi elpiji.
"Sumber daya batubara kita besar sekali. Hanya saja, sampai saat ini belum ada satu perusahaan pun yang bikin hilirisasi. Kerjaannya hanya gali dan jual," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dalam acara Pertamina Energy Forum, Kamis (29/11/2018), di Jakarta.
Menurut Jonan, hilirisasi batubara menjadi gas (dimetil eter/DME, bahan baku utama elpiji) sangat penting bagi ketahanan energi di Indonesia. Ia mengakui memang tak mudah merealisasikan gasifikasi batubara. Namun, apabila seluruh pihak serius melakukannya, ia menyebut hanya perlu waktu 2-3 tahun mewujudkan gasifikasi batubara di Indonesia.
"Lucu memang kenapa batubara tak diubah ke DME. Memang ribet, tapi harus dilakukan. Barangkali perlu dimandatkan (bagi perusahaan tambang) agar batubara harus diubah ke DME," ujar Jonan.
Kendaraan listrik
Selain gasifikasi batubara, lanjut Jonan, cara ampuh mengurangi ketergantungan pada impor minyak adalah mendorong pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. Sumber energi untuk kendaraan listrik masih melimpah, yaitu dari batubara, panas bumi, gas alam, dan sumber energi terbarukan lainnya. Apabila proyek kendaraan listrik tak dijalankan, impor minyak Indonesia bisa melonjak menjadi 1 juta barrel per hari di 2030.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menambahkan, pemerintah berkomitmen mengembangkan kendaraan listrik di dalam negeri. Ia meyakini, proyek tersebut bisa berjalan lancar mengingat ketersediaan sumber daya nikel di Indonesia, sebagai bahan baku baterai lithium, cukup melimpah. Industri baterai lithium menjadi kunci keberhasilan pengembangan proyek kendaraan listrik.
"Pengembangan baterai listrik menjadi faktor utama keberhasilan mobil listrik. Baterai listrik itu jadi kunci akan murahnya harga mobil listrik," ucap Luhut.
PT Pertamina (Persero) sudah mulai melirik pengembangan baterai lithium untuk sepeda motor listrik. Perusahaan ini sudah menggandeng sejumlah perguruan tinggi di dalam negeri untuk memproduksi baterai dalam skala terbatas. Di masa mendatang, Pertamina berencana mewujudkan industri baterai lithium di dalam negeri.
"Semua masih dalam kajian, termasuk pemilihan lokasi, investasi, dan kapasitas produksi. Namun, kami terbuka bagi pihak lain untuk bekerja sama membangun pabrik baterai lithium ini," kata Senior Vice President Riset & Technology Center Pertamina Herutama Trikoranto.
Sebelumnya, PT Bukit Asam Tbk menggandeng perusahaan asal Amerika Serikat, Air Products and Chemical Inc, untuk membangun industri gasifikasi batubara di Indonesia. Nota kerja sama dengan Air Products and Chemical Inc sudah ditandatangani Bukit Asam bersama Pertamina beberapa waktu lalu. Perusahaan Amerika itu menguasai teknologi gasifikasi batubara yang nantinya akan dimanfaatkan Bukit Asam.
Proyek gasifikasi Bukit Asam akan mengubah batubara jadi bahan baku urea berkapasitas 500.000 ton per tahun, dimetil eter 400.000 ton per tahun, dan polypropylene 450.000 ton per tahun. Rencana lokasi unit gasifikasi batubara tersebut ada di kawasan tambang batubara Bukit Asam di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.