Karya seniman Bayu Widodo dipajang di Artspace Hotel Artotel, Jakarta, Jumat (30/11/2018). Lukisan ini terinsiprasi dari kunjungan Bayu ke Desa Merabu, Kalimantan Timur, awal Oktober lalu.
JAKARTA, KOMPAS — Kepedulian terhadap kelestarian hutan Indonesia datang dari berbagai pihak. Mediumnya pun beragam, termasuk melalui pameran seni yang dibuka pada Jumat (30/11/2018) malam, di Hotel Artotel, Jakarta.
Data menunjukkan, kerusakan hutan masih menjadi tantangan di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, selama 2017 luas hutan dan lahan yang terbakar di seluruh wilayah Indonesia adalah 124.743 hektar. Sementara deforestasi atau berkurangnya tutupan hutan di Indonesia pada periode 2016-2017 seluas 479.000 hektar.
Artotel Grup menggandeng seniman dan fotografer, Bayu Widodo dan Andang Iskandar, untuk mengabadikan konservasi hutan di Desa Merabu, Kalimantan Timur, yang dikerjakan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).
Setelah residensi atau bermukim sementara selama lima hari pada awal Oktober lalu, dua seniman ini memamerkan hasil pengamatan mereka. Bayu menghasilkan 50 lukisan, sementara Andang mengabadikan aktivitas masyarakat di Desa Merabu melalui 52 foto.
Di Hotel Artotel Jakarta, Anang memamerkan 14 foto yang berjudul ”Resilience”, sementara Bayu memamerkan 11 lukisan. Karya mereka yang lain dipajang di Artotel Bali, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
Dari 14 foto yang dijepret Andang, terekam aktivitas masyarakat Merabu yang dekat dengan alam. Pada satu foto, misalnya, terlihat seorang warga yang mengenakan keranjang di belakang dengan ditemani seekor anjing.
”Itu warga yang akan mencari madu di hutan. Di Merabu, masyarakat aktif menjaga hutannya dari pembalakan liar,” kata Andang, Jumat (30/11/2018), di sela pembukaan pameran.
INSAN ALFAJRI UNTUK KOMPAS
Fotografer Andang Iskandar menunjukkan salah satu foto yang dipamerkan di Hotel Artotel jakarta, Jumat (30/11/2018). Foto diambil di Desa Merabu, Kalimantan Timur, awal Oktober lalu.
Andang melanjutkan, Desa Merabu dikelilingi sejumlah perusahaan kayu dan sawit. Sebagian dari warga Merabu ada yang bekerja di perusahaan itu. Namun, mereka tetap mempertahankan hutan mereka untuk tidak ditanami sawit.
”Resilience bercerita tentang upaya mempertahankan diri masyarakat Merabu yang mayoritas bersuku Dayak dalam mempertahankan kelestarian hutan mereka,” kata fotografer Artspace Humanika Bandung ini.
Terkait konservasi hutan, kata Andang, kapasitas masyarakat Merabu tak perlu diragukan lagi. Namun, yang menjadi catatan adalah ketahanan dari pola sosial.
Desa Merabu menjadi salah satu tempat ekowisata di Kalimantan Timur. Selain bekerja di ladang, kebun, dan hasil hutan, sebagian dari warga Merabu menghasilkan uang dari aktivitas sebagai pemandu wisata.
Berdasarkan pengamatan Andang, internet sudah cukup masif digunakan di tempat itu. Dalam batas tertentu, hal ini akan mengubah pola sosial yang telah berlangsung selama ini.
”Dengan adanya internet, mereka akan menerima begitu banyak informasi. Persoalannya adalah sejauh mana mereka mampu mengurasi informasi yang mereka butuhkan. Mereka harus mempertahankan pola sosial mereka yang guyub di tengah kebanjiran informasi itu,” tutur Andang.
Sementara 11 lukisan karya Bayu menonjolkan obyek berupa rumah, hutan, dan pohon. Ini sesuai dengan temuan dia sewaktu di lapangan.
Pada lukisan bernama ”Fight for Hope”, terdapat dua tangga. Di atas tangga ada pohon. Sementara di bawah tangga, ada dua manusia yang memegang tali berwarna merah.
”Tantangan konservasi hutan saat ini adalah banyaknya usaha tambang dan sawit. Melalui lukisan itu tergambar bahwa konservasi hutan harus menjadi perhatian bersama. Selalu ada harapan untuk konservasi hutan agar lebih maksimal, tetapi prosesnya tidak bisa langsung, harus step by step,” kata Bayu.
INSAN ALFAJRI UNTUK KOMPAS
Lukisan ”Fight for Hope” karya Bayu Widodo.
Jaka Setia dari YKAN mengatakan, Desa Merabu memiliki luas sekitar 22.000 hektar dan dihuni oleh 250 jiwa. Desa tersebut dihuni oleh mayoritas masyarakat Dayak Lebo. Dia berharap pameran seni ini semakin mendekatkan para seniman dengan isu lingkungan.
Yulia Maria, Assistant Director of Marketing Artotel Grup, mengatakan, pameran ini berlangsung dari 1 Desember hingga 31 Desember 2018. Pameran ini bermaksud untuk menggalang dana untuk program konservasi hutan YKAN di Merabu, sekaligus kampanye tentang konservasi hutan terhadap setiap tamu yang datang.
Selama sebulan ke depan, Artotel menyisihkan Rp 10.000 dari setiap transaksi tamu yang menginap. Selain itu, hasil penjualan lukisan dan foto juga akan disumbangkan untuk keperluan konservasi.
Program #ARTOTELforHOPE ini merupakan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang dilakukan setiap tahun. Tahun lalu, isu yang diangkat adalah kepedulian terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. (INSAN ALFAJRI)
INSAN ALFAJRI UNTUN KOMPAS
Pengunjung Hotel Artotel Jakarta menempelkan tulisan tentang harapannya terkait konservasi hutan di Indonesia, Jumat (30/11/2018). Ini merupakan bagian dari pameran seni yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian terhadap konservasi hutan di Indonesia. Pameran berlangsung dari 1 Desember 2018 hingga 31 Desember 2018.
