Hasil survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengindikasikan rentannya para akademisi terpapar radikalisme akibat semangat beragama yang tinggi, tetapi kurang dibekali pencarian sumber keagamaan tepercaya.
Jakarta, Kompas - Kalangan akademisi merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap penyebaran radikalisme di dunia maya. Hal itu karena kecenderungan aktivitas keagamaan yang tinggi, tetapi kurang dibarengi pencarian sumber-sumber ajaran agama tepercaya.
Untuk meredam kerentanan tersebut, perlu dilakukan penanaman kembali nilai-nilai kearifan lokal di kelompok tersebut dalam bentuk tuturan lisan, tata ruang, norma sosial, serta seni dan kebudayaan.
Saat paparan survei ”Efektivitas Kearifan Lokal dalam Menangkal Radikalisme di Era Milenial”, Kamis (29/11/2018), di Jakarta, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Suhardi Alius mengatakan, dari hasil survei tersebut, 63,6 persen responden percaya kearifan lokal dapat berperan sebagai daya tangkal radikalisme.
Meski begitu, Suhardi mengakui, pengetahuan masyarakat, terutama generasi muda, terhadap kearifan lokal masih minim. Hanya 30,09 persen masyarakat yang memahami kearifan lokal di daerahnya.
Oleh karena itu, BNPT menyusun program yang melibatkan kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah untuk mengembalikan pemahaman kearifan lokal dalam interaksi sosial di masyarakat. Program itu meliputi upaya inventarisasi kekayaan kearifan lokal di wilayah masing-masing, redefinisi tentang kearifan lokal di setiap provinsi, reformulasi kearifan lokal agar dapat diterima generasi milenial, serta pertukaran pengetahuan kearifan lokal ke generasi muda lewat media sosial.
Perkuat daya tahan
Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal (Pol) Hamli, yang ikut mendampingi Suhardi serta Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT Mayor Jenderal Hendri Paruhuman Lubis, menambahkan, penguatan kembali kearifan lokal merupakan langkah pemberantasan terorisme di sisi hulu.
Bahkan, Hamli menilai penegakan hukum terhadap jaringan kelompok teroris yang merupakan program di sisi hilir tak mampu meredam perkembangan radikalisme. ”Temuan survei ini menjadi pijakan awal memperkuat daya tahan terhadap radikalisme lewat nilai-nilai yang tertanam di lingkungan sosialnya,” ujar Hamli.
Sebelumnya, dari hasil survei BNPT, Suhardi menjelaskan indikasi semakin tingginya potensi para akademisi terpapar radikalisme akibat dipicu semangat beragama yang tinggi, tetapi kurang didasari bekal keagamaan. Secara individu, mereka lebih memilih figur agama yang mudah diakses melalui telepon pintar atau di media sosial daripada lembaga pendidikan keagamaan formal.
Dari survei BNPT, 77,73 persen koresponden mengakui melakukan aktivitas keagamaan, tetapi hanya 25,82 persen yang mendapat pendidikan keagamaan lewat interaksi dengan guru atau tokoh agama. Sementara 61,23 persen lainnya mencari konten agama lewat media sosial.
”Padahal, proses itu menyebabkan seseorang mengakses tokoh agama yang justru menginfiltrasi nilai-nilai yang tak sesuai Islam dan dianut,” ujar Suhardi.
Menurut Suhardi, survei ditujukan kepada 14.400 akademisi, yang terdiri dari mahasiswa, siswa, dosen, dan guru, di 32 provinsi. Mahasiswa dan siswa menjadi koresponden mayoritas dengan jumlah 11.200 orang. Mereka berasal dari 96 perguruan tinggi negeri, 75 sekolah menengah atas negeri, dan 45 madrasah aliyah negeri yang menjadi obyek penelitian. Pengambilan data dilakukan pada April-Oktober 2018.
Kekhawatiran ancaman radikalisme di media sosial semakin membesar karena budaya konfirmasi terhadap informasi juga rendah. Survei itu juga menunjukkan tak ada satu responden pun atau nol persen yang menerapkan perilaku ideal saat menerima informasi di dunia maya, yaitu AISAS (attention, interest, search, action, and share).
”Masyarakat tentu semakin rentan terpapar informasi-informasi negatif. Sebab, mereka menyebarkan informasi di dunia maya tanpa mengecek atau mencari konfirmasi berita yang diterima,” kata Suhardi.