Kejahatan Seksual Inses terhadap Perempuan Relatif Tinggi
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan tahun 2018 menunjukkan kasus kejahatan seksual inses terhadap perempuan tergolong tinggi. Penuntasan kasus tersebut masih terkendala anjuran mediasi, pemenuhan alat bukti (saksi), dan intimidasi atau ancaman yang diterima korban.
Kasus kekerasan seksual inses dilakukan oleh orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan tahun 2018 yang dikeluarkan pada 7 Maret, terdapat 1.210 laporan kasus kejahatan seksual inses terhadap perempuan. Dari jumlah itu, 266 kasus telah dilaporkan ke polisi dan 160 di antaranya telah masuk proses pengadilan. Pelaku terbanyak dari kasus inses adalah ayah kandung 425 orang dan paman 322 orang.
Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus mengatakan, pengaduan kasus inses yang diterima Komnas Perempuan menunjukkan bahwa ranah pribadi atau lingkungan keluarga dapat menjadi tempat yang tidak aman bagi perempuan.
”Kejahatan seksual terhadap perempuan sangat memprihatinkan. Kejahatan seksual dilakukan oleh orang terdekat dan penegakan hukum cenderung menganjurkan mediasi. Selain itu, pengungkapan kasus kejahatan seksual terkendala bukti fisik, saksi, dan ancaman dari orang terdekat kepada korban. Ancaman-ancaman yang diterima korban membuat mereka tutup mulut,” ucap Magdalena, Jumat (30/11/2018), di Jakarta.
Magdalena menjelaskan, seluruh elemen masyarakat perlu mengetahui dan memahami bahwa kejahatan seksual memiliki cakupan yang luas. Kejahatan seksual mencakup verbal dan nonverbal yang membuat perempuan merasa tidak aman dan nyaman. Bentuk verbal berupa kata-kata dan kalimat yang melecehkan, sedangkan nonverbal berupa kekerasan atau serangan fisik.
Ia menyebutkan, hambatan dalam menuntaskan kasus kejahatan seksual terhadap perempuan berkaitan dengan faktor psikologis sehingga kepekaan aparat penegak hukum sangat dibutuhkan untuk memahami psikologis perempuan korban kejahatan seksual.
”Kejahatan seksual terhadap perempuan erat kaitannya dengan perasaan tidak nyaman, tidak aman, dan ketakutan. Dalam penanganan kasus kejahatan seksual, perempuan membutuhkan pemulihan psikologis. Pemulihan psikologis dilakukan melalui pendampingan mulai dari awal penanganan kasus sampai penuntasan kasus agar mental para korban pulih dan siap untuk kembali ke lingkungan masyarakat,” tutur Magdalena.
Ia mengharapkan peran serta masyarakat untuk tidak memandang rendah korban kejahatan seksual. Masyarakat juga diharapkan berani melaporkan kejahatan seksual, khususnya generasi muda diharapkan lebih aktif menyuarakan untuk menghentikan kejahatan seksual.
Komnas Perempuan juga secara rutin melakukan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan mulai 25 November sampai 10 Desember 2018. Kampanye ini merupakan gerakan internasional dan sebagai upaya membangun kesadaran masyarakat untuk menghapus segala bentuk kejahatan seksual terhadap perempuan.
”Hapus pemikiran yang dangkal tentang kejahatan seksual sebatas serangan fisik. Perempuan korban kejahatan seksual mengalami eksploitasi dan tekanan mental. Kejahatan seksual tidak boleh didiamkan. Kita bersama-sama mendorong lahirnya payung hukum yang melindungi perempuan sejak awal sampai pemulihan psikologis,” ujar Magdalena.
Pemulihan psikologis
Kejahatan seksual terhadap perempuan seperti fenomena gunung es, sedikit terlihat di permukaan dan lebih banyak yang tersembunyi. Peningkatan laporan kasus kejahatan seksual juga menunjukkan kesadaran masyarakat akan pentingnya jaminan keamanan dan kenyamanan perempuan.
Psikolog Biro Psikologi Laksita Arijani Lasmawati menjelaskan, peningkatan jumlah laporan kasus kejahatan seksual menunjukkan semakin sadarnya masyarakat tentang bentuk-bentuk kejahatan seksual terhadap perempuan. Bentuk-bentuk kejahatan seksual terhadap perempuan tidak lagi dilihat sebatas pada upaya pemerkosaan, sentuhan fisik yang mengarah pada perbuatan hubungan seksual tanpa dilandasi suka sama suka, dan lainnya.
”Pesan porno juga merupakan bentuk pelecehan sehingga dapat dilaporkan ke pihak berwajib,” ucap Arijani, psikolog bidang Psikologi Klinis Anak dan Remaja.
Arijani mengatakan, korban kejahatan seksual mendapatkan penanganan khusus oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang ada di kabupaten dan kota. P2TP2A secara komprehensif akan menangani korban kejahatan seksual dengan melibatkan dokter, psikolog, pekerja sosial, dan ahli hukum.
Penanganan komprehensif bertujuan untuk pengobatan terhadap mental dan fisik korban serta upaya mengumpulkan alat bukti yang akan digunakan dalam persidangan.
Ia menyebutkan, psikolog berperan membantu korban kejahatan seksual merasa nyaman dan aman dalam proses penyidikan. Psikolog membantu korban tidak tertekan atau terintimidasi ketika diminta keterangan oleh penegak hukum karena pertanyaan yang diajukan perlu mempertimbangkan kondisi psikis korban.
”Korban juga perlu didampingi ketika persidangan dan mereka sangat membutuhkan sikap kemanusiaan dari para penyelenggara peradilan. Lebih penting lagi, setelah proses persidangan (sudah diputus) wajib dilakukan rehabilitasi mental bagi korban,” ucap Arijani.
Ia mengatakan, seluruh anggota keluarga dan lingkungan tempat tinggal korban perlu diedukasi dengan baik agar bisa memberikan dukungan moral bagi pemulihan kondisi mental korban. Selain itu, perlu ditanamkan sikap empati agar tidak ada stigma bahwa korban kejahatan seksual adalah perempuan yang sudah ”cacat” sehingga tidak dapat melanjutkan hidup secara normal.
”Kita harus lebih bijak dalam bersikap dan memperlakukan korban kejahatan seksual dengan rasa hormat serta lebih baik lagi,” ujar Arijani. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)