Kepariwisataan Harus Dilihat Holistik
JAKARTA, KOMPAS - Kepariwisataan, sektor yang menjadi unggulan pemerintah, tidak boleh dilihat sebagai sumber ekonomi semata. Kepariwisataan mesti dilihat secara holistik terkait pembangunan manusia, sosial budaya, serta lingkungan.
Kepariwisataan, menurut I Gede Ardika, bahkan bisa menyokong pertahanan dan keamanan bangsa serta membangun persahabatan dengan bangsa lain.
Pandangan pemerhati pariwisata sekaligus mantan Menteri Pariwisata periode 2000-2004 itu disampaikan dalam diskusi saat peluncuran bukunya, "Kepariwisataan Berkelanjutan, Rintis Jalan Lewat Komunitas", terbitan Penerbit Buku Kompas, di Jakarta, Kamis (29/11/2018).
Hadir dalam diskusi itu, antara lain Guru Besar Geografi Nasional UGM Prof Dr M Baiquni MA, praktisi pariwisata Bali Tourism Board I Gusti Agung Kertiyasa, wakil dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Rus Suharo, dan wartawan senior Kompas Pieter P Gero.
Ardika menambahkan, kepariwisataan bisa dipakai sebagai alat untuk menciptakan toleransi antarsuku bangsa dan digunakan untuk menjabarkan nilai-nilai Pancasila. "Nilai-nilai ini yang harus menjadi konsep dasar pengembangan kepariwisataan. Hanya Indonesia yang mempunyai konsep dasar seperti ini," ujarnya.
Jika dikaitkan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG), terutama mengatasi kemiskinan, pariwisata harus mampu menjadi alat mengentaskan kemiskinan. Caranya dengan memetakan daerah-daerah miskin, lalu membangun kepariwisataan dengan kearifan lokal yang ada.
"Dengan cara demikian, pariwisata berfungsi untuk melestarikan budaya lokal dan meningkatkan rasa cinta tanah air," kata Ardika.
Kepariwisataan akan sukses berkelanjutan jika dibangun berdasarkan komunitas masyarakat. Dengan melibatkan masyarakat, lingkungan akan terjaga. Salah satu contohnya adalah desa wisata Desa Pemuteran, di Buleleng, Bali.
"Desa yang pada tahun 1980-an mengalami kemiskinan karena penduduknya kesulitan mendapatkan ikan, akibat praktek penangkapan ikan yang salah, kini menjadi desa yang makmur. Perairan Desa Pemuteran dikenal sebagai salah satu kawasan yang memiliki terumbu karang paling indah di dunia," kata Ardika.
Akan tetapi, untuk menumbuhkan kepariwisataan di komunitas, diakui Ardika tidaklah mudah. Masih banyak masyarakat yang memiliki persepsi negatif terhadap pariwisata.
Sementara I Gusti Agung Kertiyasa mengatakan masyarakat Desa Pemuteran telah mempunyai kesadaran untuk memjaga lingkungannya. Mereka secara aktif menanam karang-karang muda sehingga memjadi terumbu karang yang indah.
"Kami juga mendapatkan bantuan teknologi dari Amerika Serikat dan Jerman sehingga terumbu karang kami lebih kuat dibandingkan terumbu karang alami. Mereka tahan terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Saat ini kami sudah mendapatkan 38 penghargaan internasional untuk terumbu karang terbaik," kata Agung.
Baiquni mengatakan, buku yang ditulis oleh Ardika ini telah membuka mata bahwa pariwisata bukan lagi sebuah leisure tetapi menjadi hak dasar manusia. Dengan pariwisata maka tercipta well being dan meningkatkan hubungan spiritualitas dengan Sang Pencipta.
Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Sutta Dharmasaputra mengatakan, Kompas berkomitmen mengembangkan pariwisata. "Sejak tahun 2016, Kompas telah membuat indeks pariwisata di 500 kabupaten kota, dan terus mendukung pariwisata hingga saat ini," kata Sutta.